Laporan terkini menunjukkan bahwa kecanduan media sosial telah berkembang menjadi ancaman nyata bagi kesehatan mental Generasi Z kelompok yang lahir dan besar dalam lingkungan teknologi yang semakin canggih. Data dari Kementerian Kesehatan RI (2023) mengungkap peningkatan sebanyak 25% pada jumlah konsultasi kesehatan mental remaja berusia 15–24 tahun yang berkaitan dengan penggunaan media sosial, dengan gejala seperti fear of missing out (FOMO) dan gangguan tidur sebagai masalah yang paling sering dilaporkan.
Penelitian global yang dimuat dalam Journal of Adolescent Health (2023) menyebutkan bahwa remaja yang menghabiskan waktu lebih dari tiga jam sehari di media sosial memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi untuk mengalami gejala depresi dibandingkan mereka yang penggunaannya lebih sedikit. Temuan ini diperkuat oleh studi Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (2024) terhadap 1.200 siswa SMA di Jakarta, di mana 65% partisipan menunjukkan tanda-tanda kecanduan media sosial yang berdampak negatif terhadap prestasi akademik mereka.
Menurut psikolog remaja Dr. Maya Sari dari Universitas Indonesia, algoritma yang sengaja dirancang untuk mempertahankan pengguna agar tetap aktif di platform menjadi penyebab utama kecanduan. “Generasi Z terus-menerus dibombardir dengan notifikasi, feed tak terbatas, dan tekanan untuk selalu terkoneksi. Ini bukan hanya mengganggu konsentrasi belajar, tetapi juga merusak pola tidur serta menumbuhkan perasaan tidak pernah cukup,” jelasnya dalam sebuah seminar daring.
Bukti klinis dari RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan lonjakan 40% kasus gangguan kecemasan sosial pada remaja dalam tiga tahun terakhir, dengan media sosial sebagai faktor pemicu utama. Hasil ini sejalan dengan laporan UNICEF (2023) yang menyatakan bahwa satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami tekanan mental akibat terpapar konten digital yang negatif.
Di sisi lain, media sosial juga dapat memberikan manfaat jika dimanfaatkan secara tepat. “Platform seperti TikTok dan Instagram mampu menjadi sarana pendidikan, ruang berekspresi, serta jejaring dukungan mental, khususnya bagi mereka yang sulit mengakses layanan konseling langsung,” ujar Ahmad Fauzi, peneliti budaya digital dari Universitas Gadjah Mada, yang merujuk pada program “Sehat Jiwa Digital” hasil kolaborasi dengan Kemenkes (2024).
Namun, Fauzi mengingatkan bahwa tanpa literasi digital yang memadai, risiko kecanduan tetap tinggi. Ia mendorong agar pendidikan penggunaan media yang sehat diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. “Kita tidak bisa hanya menyalahkan teknologi. Diperlukan upaya terstruktur untuk melatih generasi muda agar mampu mengelola diri di dunia digital,” tegasnya, merujuk pada inisiatif “Kurikulum Kewargaan Digital” yang telah diujicobakan di 50 sekolah percontohan.
Beberapa perguruan tinggi telah mengambil langkah preventif. Contohnya, Universitas Padjadjaran menyelenggarakan pelatihan “Kesejahteraan Digital” bagi mahasiswa baru, sementara Universitas Brawijaya membuka layanan konseling khusus bagi mereka yang mengalami kecanduan gawai, dengan telah menangani 300 kasus dalam setahun terakhir.
Kritik juga diarahkan kepada perusahaan teknologi. Para ahli menyoroti bahwa desain platform kerap kali dibuat agar pengguna betah berlama-lama, tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya. “Fitur seperti autoplay, notifikasi bertubi-tubi, dan infinite scroll dirancang untuk memicu perilaku kompulsif. Kita butuh regulasi yang mewajibkan transparansi algoritma dan pembatasan fitur-fitur yang berpotensi adiktif, terutama untuk pengguna muda,” tegas Siti Nurhaliza, aktivis literasi digital dari Masyarakat Anti Hoaks Indonesia. Kritik ini semakin menguat setelah terungkapnya dokumen internal dari mantan karyawan Facebook yang menunjukkan bahwa Instagram diketahui dapat memperburuk citra tubuh remaja perempuan, namun perusahaan dianggap tidak mengambil langkah berarti untuk mengatasinya.
Menanggapi hal ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah menyiapkan regulasi yang lebih ketat. Pemerintah sedang merancang panduan etika bermedia digital serta memperkuat kerangka hukum untuk melindungi pengguna muda. “Kami sedang mengkaji penerapan digital well-being features yang wajib dimiliki platform, seperti pengingat waktu, mode istirahat, dan pembatasan akses konten tertentu bagi pengguna di bawah umur,” jelas seorang pejabat Kominfo dalam sebuah diskusi publik. Langkah ini sejalan dengan tren global, seperti Digital Services Act di Uni Eropa, yang mewajibkan perusahaan teknologi untuk lebih bertanggung jawab atas konten dan dampak platform mereka.
Para ahli menekankan bahwa solusi mengatasi dampak negatif media sosial harus bersifat menyeluruh. Upaya ini membutuhkan sinergi dari berbagai pihak : kesadaran diri pengguna, peran aktif keluarga dalam pengawasan, integrasi pendidikan literasi digital di sekolah, regulasi pemerintah yang protektif, serta tanggung jawab etis dari perusahaan teknologi. “Kita perlu membangun ekosistem digital yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga peduli terhadap kesehatan mental penggunanya,” ujar Dr. Maya Sari, sembari menambahkan bahwa program edukasi dan dukungan psikologis perlu lebih gencar disosialisasikan. Dengan kolaborasi ini, diharapkan Generasi Z dapat memanfaatkan teknologi digital secara positif tanpa mengorbankan kesehatan mental mereka.
Naylatul Amanah Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pendidikan Nonformal
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































