Perundungan bukan sekadar lelucon yang “keterlaluan” atau kenakalan remaja yang bisa dimaklumi. Ia adalah bentuk kekerasan psikologis maupun fisik yang meninggalkan luka lebih dalam daripada yang tampak di permukaan. Di sekolah, tempat kerja, hingga media sosial, bullying sering dianggap sepele, padahal satu hinaan dapat meruntuhkan rasa percaya diri, dan satu tindakan intimidasi dapat menimbulkan trauma jangka panjang. Budaya diam serta sikap menonton tanpa bertindak membuat korban merasa harus menerima perlakuan tersebut. Jika ini dibiarkan, kita ikut menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri.
Pada November 2025, dunia pendidikan kembali diguncang kasus perundungan yang menelan korban jiwa. M.H (13), siswa kelas VII SMPN 19 Tangerang Selatan, meninggal dunia setelah diduga mengalami sejumlah kekerasan dari teman-temannya. Tragedi ini bukan hanya menyisakan duka, tetapi juga pertanyaan besar mengenai keamanan anak di lingkungan sekolah.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengecam keras insiden tersebut. Saat mengunjungi rumah duka, ia menegaskan bahwa sekolah harus menjadi ruang aman bagi anak. “Perundungan atas anak-anak kita tidak bisa dibiarkan. Kasus ini harus diusut tuntas secara transparan,” ujarnya. Kementerian PPPA memastikan pendampingan penuh bagi keluarga korban dan telah berkoordinasi dengan UPTD PPA Kota Tangerang Selatan.
Hasil koordinasi Tim SAPA 129 dengan UPTD PPA mengungkapkan bahwa M.H diduga mengalami perundungan sejak masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Pada 20–25 Oktober 2025, korban dilaporkan mengalami kekerasan fisik, termasuk pemukulan menggunakan kursi besi oleh teman sebangku dan beberapa siswa lain. Akibat luka serius di kepala, M.H sempat dirawat intensif di RS Fatmawati sebelum meninggal dunia.
Kepala UPTD PPA, Tri Purwanto, menyatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan kepolisian dan sekolah. Kepala Dinas PPPA Tangsel, Cahyadi, menegaskan bahwa penanganan dilakukan sesuai prosedur perlindungan anak. Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan, Deden Deni, menyampaikan bahwa empat siswa telah dimintai keterangan oleh Polres Tangsel. Kuasa hukum keluarga korban, Alfian, menegaskan bahwa proses hukum harus berjalan tanpa gangguan isu lain yang dapat mengaburkan pokok perkara.
Kasus ini menegaskan kembali masalah lama: budaya normalisasi kekerasan di sekolah. Ejekan dianggap candaan, dorongan dianggap permainan, dan tekanan psikologis dianggap “ujian mental”. Cara pandang seperti ini berbahaya karena membuat korban merasa tidak didengar dan tidak berdaya. Padahal, dampak perundungan tidak hanya melukai fisik, tetapi juga mengganggu konsentrasi, menurunkan motivasi, hingga merusak perkembangan emosional anak.
Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015 sebenarnya telah mengatur langkah pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Namun implementasinya masih lemah. Banyak sekolah belum memiliki sistem deteksi dini, belum melatih guru menangani perundungan, dan tidak menyediakan mekanisme pelaporan yang aman bagi korban maupun saksi.
Anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Di sana mereka tidak hanya belajar akademik, tetapi juga membentuk karakter dan mengenal dunia sosial. Sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman kedua setelah rumah dimana jadi ruang tempat anak tumbuh, belajar, dan mengenali dunia tanpa rasa takut. Ketika anak tidak lagi merasa aman di lingkungan yang seharusnya melindungi mereka, pertanyaan utamanya bukan hanya apa yang terjadi, tetapi siapa yang bertanggung jawab?
Keamanan anak di sekolah tidak bisa diserahkan hanya kepada guru. Orang tua, tenaga pendidik, masyarakat, dan pemerintah memegang peran besar dalam mencegah perundungan. Tanpa kesadaran kolektif, kasus serupa akan terus terulang.
Menghentikan perundungan dimulai dari keberanian. Keberanian untuk berkata “cukup” pada kekerasan. Membela korban, menegur perilaku intimidatif, dan mengingatkan teman yang meledek bukanlah tindakan berlebihan melainkan kewajiban moral. Kasus M.H adalah pengingat bahwa perundungan bukan masalah sepele. Ia dapat merenggut nyawa dan menghancurkan masa depan seorang anak.
Tanpa tindakan nyata dan perubahan budaya sekolah, tragedi seperti ini akan terus terjadi. Dunia pendidikan harus bangkit, bukan hanya untuk menuntaskan kasus ini, tetapi untuk memastikan setiap anak dapat belajar dan tumbuh tanpa rasa takut.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”


































































