Baru baru ini tanah air diselimuti duka yang mendalam, bencana alam kembali terjadi merenggut nyawa manusia dan harta benda manusia.
Banjir yang menerjang Sibolga dan sejumlah wilayah di Sumatra belakangan ini tidak hanya membawa lumpur dan arus deras. Di antara air yang meluap, warga dikejutkan oleh gelondongan kayu berukuran besar yang ikut terseret ke permukiman. Fenomena ini bukan sekadar “kebetulan alam”. Ia adalah sinyal keras tentang bagaimana hutan-hutan di hulu yang selama ini menjadi benteng alami kian kehilangan kemampuannya menahan air. Banjir kali ini membuat gempar beberapa wilayah di tanah air, dikarenakan banjir bandang kali ini mengungkapkan keserakahan manusia yang terus menerus mengeksploitasi alam yang menjadi tempat tinggal ribuan makhluk hidup dan kaya akan sumber daya alam lainnya. Ini membuktikan banjir yang terjadi bukan murni karena peristiwa natural dari alam melainkan campur tangan dari manusia itu sendiri
Di beberapa titik, warga mengaku tak pernah melihat banjir sebesar ini. Namun yang paling mencuri perhatian adalah tumpukan kayu yang datang bersama air, seolah mengungkap apa yang selama ini terjadi jauh dari pandangan masyarakat pembalakan yang tidak terkendali, perambahan kawasan hutan, dan lemahnya pengawasan di daerah hulu. Statement yang mengatakan bahwa gelondongan kayu yang terbawa arus banjir bandang merupakan kayu yang lapuk namun ini bukan merupakan kalimat yang salah. Dikarenakan tidak mungkin gelondongan kayu yang terbawa arus sudah terpotong dengan baik dan presisi dan rapi.
Kejadian di Sibolga bukan peristiwa tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, Sumatra berkali-kali mengalami banjir besar yang selalu meninggalkan pola yang sama daerah hulu kritis, tutupan hutan menurun, dan material kayu terbawa arus. Dari Tapanuli hingga Padang, dari Mandailing Natal sampai Aceh Singkil, banjir besar kerap membawa cerita serupa cerita yang menunjuk pada satu akar masalah eksploitasi hutan yang melampaui daya dukungnya.
Di Sibolga, gelondongan kayu yang muncul di tengah banjir menjadi “bukti visual” yang sulit dibantah. Ia berbicara lebih lantang daripada laporan statistik. Ketika kayu-kayu besar itu lolos dari hulu dan masuk ke aliran sungai, publik kembali diingatkan bahwa kerusakan ekosistem tidak pernah berdiri sendiri ia selalu kembali ke masyarakat dalam bentuk bencana. Fenomena ini juga memperlihatkan betapa pentingnya menelusuri ulang pola pengelolaan hutan, izin pemanfaatan kayu, hingga efektivitas pengawasan di lapangan. Sebab banjir di Sibolga bukan hanya soal cuaca ekstrem; ia adalah konsekuensi dari ruang hidup yang dikorbankan. Di tengah tekanan publik serta derasnya kritik terkait kerusakan hutan Sumatra, pemerintah justru mengambil langkah yang jarang dilakukan selama bertahun-tahun: membuka pintu investigasi lintas lembaga. Langkah ini menjadi sinyal penting bahwa negara tidak lagi membiarkan permainan gelap di sektor kehutanan berlangsung tanpa akuntabilitas. Kesediaan pemerintah menelusuri asal kayu gelondongan, memeriksa zona rawan, hingga menegur dinas terkait menunjukkan bahwa birokrasi tidak sepenuhnya lumpuh ia masih bisa bergerak progresif ketika krisis menuntut keberanian. Di saat banyak pihak meragukan ketegasan negara, justru pada momen bencana inilah pemerintah menunjukkan sisi terbaiknya: kemampuan berubah saat tekanan paling besar datang.
Bencana banjir yang membawa gelondongan kayu sebenarnya membuka ruang penting bagi negara untuk memperbaiki tata kelola hulu secara lebih struktural. Pemerintah kini memiliki momentum untuk membereskan rantai distribusi kayu ilegal, memperkuat pemantauan hutan berbasis satelit, dan merapikan ulang perizinan yang selama ini menjadi celah bagi penjarahan sumber daya alam. Jika momentum ini benar-benar dimanfaatkan, pemerintah tidak hanya hadir sebagai penyelamat saat krisis, tetapi juga sebagai arsitek perubahan jangka panjang. Di sinilah kualitas negara diuji: mampu menjadikan bencana sebagai titik balik kebijakan, bukan sekadar rutinitas penanganan setelah rumah-rumah terendam.
Namun, keberhasilan pemerintah dalam merespons banjir dan menindak jejak pembalakan hanyalah permukaan dari pekerjaan besar yang masih menanti. Negara harus menjaga konsistensi ini, memastikan bahwa ketegasan tidak berhenti ketika sorotan publik meredup dan kamera media tak lagi menyorot hulu sungai. Sebab masyarakat menilai pemerintah bukan dari janji atau konferensi pers, melainkan dari perubahan nyata yang mereka rasakan di desa-desa yang terendam, di hutan-hutan yang terkikis, dan di sungai-sungai yang kini membawa lebih banyak cerita daripada sekadar air bah. Jika pemerintah mampu menjaga ritme dan komitmen ini, maka bencana bukan sekadar tragedi melainkan awal dari tata kelola baru yang lebih bermartabat.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































