Ketika Sharenting Lukai Emosional Anak
Ketika Sharenting Lukai Emosional Anak – “Sharenting” mendefinisikan sebagai apa yang dilakukan orang tua saat mereka membicarakan anak mereka di luar lingkungan keluarga : Sebuah postongan di media sosial dengan gambar, posting blog tentang anak mereka, video melalui platform perpesanan seperti WhatsApp, dll. – Stacey Steinberg, Unicef Fenomena sharenting saat ini menjadi hal yang marak dilakukan baik dikalangan artis, selebgram maupun masyarakat yang menggunakan media sosial. Platform yang digunakan dan bentuk postingan pun sudah semakin beragam. Motif sharenting saat ini juga beragam, entah hanya untuk menyimpan kenangan, mencari popularitas atau yang marak terjadi adalah membuat content untuk mengasilkan uang. Mungkin statement terakhir ini bisa menjadi isu yang bisa dilihat dari dua sudut pandang. Mengapa hal ini perlu dijelaskan secara kritis? kebebasan mengekspresikan memang sudah diatur dalam UUD Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3) yaitu, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun, penting mengingat bahwa setiap orang akan terikat dengan orang lain sehingga kebebasan setiap manusia juga akan memberikan dampak pada orang lain atau secara singkat kebebasan tetap dibatasi oleh keberadaan orang lain (Sartre,2006)
Kelebihan media sosial untuk menghimpun dokumentasi yang dihasilkan setiap individu memang banyak dimanfaatkan untuk mengunggah berbagai foto dan videonya sebagai media untuk penyimpanan yang bisa di akses kapan saja. Menurut Kusumawardani dan Hanggoro (2018) dari sisi penyimpanan arsip elektronik pun media sosial dapat dilakukan dalam jumlah banyak karena menggunakan server media sosial sehingga menghemat tempat sesuai dengan platform-nya. Transisi inilah yang mungkin menjadi alasan awal banyak diantara orang tua yang menggunakan platform media sosial. Meskipun memiliki nilai kenangan yang tidak dapat diukur oleh individu, nyatanya masih banyak orang tua yang mungkin belum sepenuhnya memahami tentang privasi anak-anak seperti menampilkan nama lengkap, gambar yang menujukkan bagian tubuh yang privat bahkan buruknya adalah menumbuhkan perasaan narsistik yang berlebihan pada anak-anak. Pada dasarnya, anak-anak akan melihat apa yang orang tua lakukan, apa yang membuat itu menarik biasanya akan menjadi rekam dalam ingatannya untuk mencoba bahkan meniru keseharian yang dilakukan, termasuk sharenting. Kegiatan ini bisa menjadi hal biasa jika content sharenting ini sering dilakukan terutama dikalangan content creator dengan framing keluarga, parenting anak dll. Reaksi yang diberikan anak-anak juga biasanya alami meskipun, ada “seni” untuk membuat breefing didalamnya, jika reaksinya sesuai dengan kebiasaan masyarakat tentu content ini akan menjadi media yang menyenangkan untuk dilihat. Berbeda halnya dengan reaksi anak yang terkesan kasar, susah diatur atau istilah saat ini “baru liat aja udah bikin baby blues”, inilah dampak yang dimaksud. Jika reaksi tersebut berdampak negatif siapa kah yang lebih dulu disalahkan? Kesalahan dalam mendidik? Atau tuntutan content?
Reaksi yang buruk dari masyarakat memiliki dampak yang sangat besar khususnya pada kasus sharenting ini. Salah satu kasus yang akhir-akhir ini rama di bicarakan di media sosial tentang ucapan seorang anak, “aku mau pakai pelembab, biar ga hinyai kaya teteh-teteh bubaran pabrik”, terlepas dari bagaimana orang tua tersebut membuat pola komunikasi di dalam rumah, hal yang paling menjadi urgensi dalam kasus ini adalah dampak negative dari postingan yang diunggah dalam media sosial tersebut. Apakah setiap postingan akan memunculkan reaksi dari luar? Tentu. Bagaimana perasaan anak yang mengalami dampak buruk dari sharenting ini saat mendapat perlakuan dari luar, sedangkan jejak digital tidak dapat terhapus dan dapat menjadi bahan perundungan juga tekanan sosial jangka panjang, bahkan mengganggu perkembangan identitas anak dimana Ketika semua orang mengingat kejadian tersebut, secara sadar anak-anak belum tentu memahami apa yang terjadi pada saat itu, bisa saja kesalahan yang dilakukan itu dapat menjadi bahan candaan.
Lantas apakah ini bukan urgensi dari sharenting yang perlu disadari bersama? Diusia yang cemerlang, rasa ingin tahu dan membagikan hal yang ia ketahui merupakan sebuah momen penting bagi anak-anak untuk bertumbuh dan kenangan berharga bagi orang tua, tetapi menjadikan content sharenting tanpa etika dan pertimbangan yang baik tentu juga akan mendorong kondisi yang sangat merugikan terutama dampak emosional yang besar bagi anak-anak. Proses reaksi yang diberikan oleh anak-anak merupakan kebebasan ketika ia bertumbuh, dan, sudah sepatutya orang tua memiliki peran yang bijak pada saat membuat memori baik untuk dikenang.
Referensi
Kusumawardani, Gayatri, dan Bening Tri Hanggoro. 2018. “Media Sosial Sebagai Alternatif Penyimpanan Arsip Digital Pribadi.” Jurnal Kearsipan AN13(2) Sespiani, K. A. (2022).
Eksistensialisme Rafathar dalam praktik sharenting pada media sosial Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi, 6(1), 50-60.
Gunawan, Muchamad Ganda. “Implementasi Sharenting Di Media Sosial Sebagai Penggeser Dokumentasi Tumbuh Kembang Anak Dari Analog Ke Digital”. Nuansa Akademik: Jurnal Pembangunan Masyarakat 8, no. 2 (August 28, 2023): 455–473. Accessed April 7, 2025. https://jurnal.ucy.ac.id/index.php/nuansaakademik/article/view/1832. Sumber gambar https://i.pinimg.com/736x/59/5e/f8/595ef8cb5ce057077d83c226851748a8.jpg
Picture sources
https://x.com/UNICEF/status/1890038703445213633?t=_4WOj2sNKUT6_eYge-XUWg&s=08
https://x.com/UNICEF/status/1890264804129976692?t=BYJ5Jleu_NdXLgYdz3vljw&s=08
https://x.com/longliveszl/status/1909808508910158339?t=7DRKiCKL_Uwe358Ed96mZw&s=08
https://vt.tiktok.com/ZSrQYyMby/