Di tengah tekanan akademik dan persaingan dunia kerja yang kian kompetitif, banyak orang berfokus pada pencapaian intelektual dan teknis. Namun ada satu aspek penting yang justru sering terabaikan: kecerdasan emosional atau emotional intelligence (EQ). Padahal, kemampuan ini sangat menentukan bagaimana seseorang mampu mengelola diri, membangun relasi, serta menyikapi tekanan dengan bijak.
Apa Itu Emotional Intelligence dan Mengapa Penting?
Emotional intelligence adalah kemampuan seseorang dalam mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri serta orang lain. Menurut Ruangkerja.id (2023), EQ mencakup lima komponen utama: kesadaran diri, pengelolaan emosi, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.
Dalam konteks perkuliahan, EQ membantu mahasiswa untuk tidak hanya berprestasi secara akademik, tetapi juga mampu mengelola stres, menyelesaikan konflik, dan membangun kerja sama tim. Sementara di dunia kerja, EQ menjadi kunci dalam berinteraksi dengan rekan, atasan, dan klien, serta menghadapi tekanan kerja dengan lebih tenang dan solutif.
EQ dan Mahasiswa: Fondasi Keseimbangan Akademik dan Sosial
Tuntutan kuliah sering kali menimbulkan tekanan emosional yang tidak ringan—baik dari tugas yang menumpuk, kompetisi antar mahasiswa, hingga ekspektasi keluarga. Tanpa kemampuan mengelola emosi, mahasiswa bisa mudah merasa kewalahan, kehilangan motivasi, bahkan mengalami burnout.
Menurut HR Excellency (2024), mahasiswa yang memiliki EQ tinggi cenderung lebih stabil dalam menghadapi tantangan, mampu menyelesaikan masalah secara rasional, serta menjalin relasi sosial yang sehat. EQ juga membentuk karakter kepemimpinan yang empatik dan komunikatif—dua hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia organisasi kampus dan kerja nanti.
Emotional Intelligence di Dunia Kerja: Soft Skill yang Dicari Rekruter
Di tempat kerja, keterampilan teknis memang penting, namun tidak cukup. Banyak perusahaan kini menaruh perhatian besar pada soft skill seperti kemampuan komunikasi, kerja sama, dan pengendalian diri dalam situasi sulit. Semua ini berakar pada kecerdasan emosional (UGM Alumni, 2025).
Karyawan dengan EQ tinggi dinilai lebih fleksibel, mampu menerima kritik dengan baik, serta menjadi penghubung yang efektif dalam tim. Mereka juga cenderung mampu mengelola konflik tanpa menciptakan drama, serta mampu menavigasi perubahan dan tekanan dengan sikap yang positif.
Mengasah EQ: Bisa Dimulai dari Hal Sederhana
Kabar baiknya, tidak seperti IQ yang bersifat bawaan, EQ dapat dilatih dan dikembangkan. Hal ini bisa dimulai dari hal sederhana: belajar mengenali emosi diri sendiri, melatih empati lewat mendengarkan aktif, memberi jeda sebelum bereaksi, dan berlatih komunikasi yang asertif.
Kampus dan organisasi mahasiswa juga dapat berperan dengan memberikan ruang bagi pengembangan EQ, melalui pelatihan kepemimpinan, mentoring, kegiatan sosial, dan kerja kelompok lintas latar belakang.
Kesimpulan
Emotional intelligence bukan sekadar pelengkap, melainkan komponen utama dari kecerdasan manusia yang utuh. Mahasiswa yang memiliki EQ tinggi tidak hanya siap menyelesaikan kuliah dengan baik, tetapi juga lebih siap memasuki dunia kerja yang penuh tantangan. Lebih dari nilai akademik, dunia saat ini membutuhkan individu yang mampu berpikir tajam, merasakan dengan empati, dan bertindak dengan kebijaksanaan. Dan semua itu berakar dari satu hal: kecerdasan emosional.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”