Fenomena live shopping di TikTok telah menjadi salah satu tren pemasaran digital yang selalu digemari oleh masyarakat, khususnya di kalangan milenial dan Gen Z. Hal ini dikarenakan tidak hanya terkait kegiatan jual beli saja, namun live shopping juga menjadi ruang interaksi yang unik antara penjual dan pembeli. Banyak penjual yang memanfaatkan performa gender dan daya tarik visual, seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, gaya berpakaian, maupun cara berkomunikasi saat berinteraksi dengan para pembeli. Lantas, apakah strategi ini memberikan keuntungan, atau justru membuat laki-laki dan perempuan menjadi objek semata dalam aktivitas live shopping TikTok?
Apa itu Performa Gender & Daya Tarik Visual?
Performa gender merupakan konsep yang dipopulerkan oleh Judith Butler (1990), bahwa gender dilihat sebagai suatu performa yang dibentuk melalui perilaku, bahasa, dan tindakan sehari-hari yang diulangi secara terus-menerus dalam kehidupan sosial kita (Inayah & Fauzi, 2024). Dalam konteks live shopping, hal ini terlihat dari cara penjual—baik perempuan maupun laki-laki—yang membentuk citra diri mereka melalui gaya bicara, ekspresi, dan penampilan.
Mereka juga sering mengandalkan daya tarik visualnya, seperti cara berpakaian, gestur tubuh, hingga tampilan wajah yang dianggap cantik atau tampan, agar dapat menarik perhatian penonton. Strategi ini memang dapat menarik interaksi antara penjual dan pembeli, namun di sisi lain beresiko menimbulkan masalah jika mengarah pada eksploitasi ataupun objektifikasi.
Live Batik oleh Laki-Laki: Daya Tarik Lewat Ketampanan dan Interaksi Genit Penonton Perempuan
Dalam satu sesi live akun TikTok yang diamati penulis, seorang pria berjualan pakaian batik modern dengan cara yang sederhana namun menarik. Ia tampak tampil rapi, berbicara santai, bahkan terkadang merespons candaan penonton dengan lucu. Secara mengejutkan juga, ternyata kolom komentar dipenuhi oleh penonton perempuan yang menggoda sang penjual tersebut dengan komentar-komentar godaan, seperti “etalase berapa yang beli batik gratis masnya?”, “ganteng gini yang jualannya”, ataupun “kalo beli offline ketemu masnya nggak ya?”. Sehingga, fenomena ini menunjukkan bahwa adanya daya tarik visual dapat menjadi nilai jual terlepas dari produk yang ditawarkan.
Fenomena ini bisa dikaitkan dengan istilah “male beauty previlege”, yaitu keuntungan yang didapat pria karena memiliki penampilan menarik, khususnya di ruang digital. Penjual pria yang terlihat memikat cenderung lebih mudah menarik perhatian penonton dan mengakibatkan penonton jadi ingin membeli produknya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya produk saja yang dijual, namun citra penjual juga turut berperan dalam membentuk daya tarik live shopping.
Live Sepatu oleh Perempuan: Antara Joget, Pakaian Minim, dan Respons Erotik Penonton Pria
Di lain sisi, live akun TikTok yang diamati penulis terdapat seorang wanita yang menjual sepatu namun sambil berjoget mengikuti tren TikTok. Mereka menampilkan gerakan tubuh yang sensual, seperti bergeol-geol maupun meliukkan badannya, dengan pakaian yang ketat dan membentuk tubuh. Adapun komentar-komentar yang sering muncul sering kali malah menyasar ke hal lain, seperti penampilan fisik si penjual ataupun hal-hal yang konteksnya mengarah pada pelecehan seksual secara verbal. Komentar-komentar yang sering ditemui, seperti “lincah banget geol-geolnya”, “gitar jerman atau spanyol ini”, atau “aura hyper-nya kuat banget, joget lagi dong biar semangat belinya”.
Fenomena inilah yang mencerminkan praktik “sexualixed marketing”, di mana ia menggunakan tubuh dan penampilan sensualnya untuk menarik perhatian pembeli. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan teori milik Laura Mulvey (1989), yaitu teori male gaze, di mana perempuan secara terus-menerus dipandang & dipajang, ditonton dan dipertontonkan, dengan penampilan tertentu yang memiliki pengaruh visual & seksual yang kuat (Febrianto & Udasmoro, 2024).
Ketimpangan Respons Gender: Siapa yang Menikmati dan Siapa yang Terobjektifikasi?
Dari dua contoh sebelumnya, terlihat bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memakai daya tarik visual untuk jualan di live TikTok. Namun, bentuk dan respons yang diterima berbeda. Bedanya, laki-laki biasanya digoda dengan cara bercanda, sedangkan perempuan lebih sering jadi objek seksual secara langsung. Performa gender di sini bukan hanya menunjukkan siapa diri kita, tapi juga mengikuti apa yang diharapkan orang lain dan cara kerja TikTok. Dikarenakan, TikTok lebih sering menampilkan video yang menarik secara visual dan cepat mendapat banyak interaksi, seperti comment atau share. Hal ini mengakibatkan konten yang tampil sensual atau menarik secara fisik jadi lebih sering muncul secara algoritma.
Annisa Ariany Putri Harsono, Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya.
Referensi
Febrianto, A., & Udasmoro, W. (2024). Perempuan Sebagai Objek Male Gaze Pembaca: Telaah Kritis Karya Sastra Feminis Perempuan Indonesia. Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra, 8(1), 1-24.
Inayah, Z. R., & Fauzi, A. M. (2024). Pembebasan Seksualitas dan Gender dalam Film The Danish Girl: Studi Analisis Teori Performativitas Judith Butler. Paradigma, 13(1), 131-140.
Mulvey, L. (1989). Visual and other pleasures. Springer.