Dalam ajaran Islam, ilmu menempati kedudukan yang sangat tinggi. Sejak wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW, manusia diperintahkan untuk membaca dan memahami ciptaan Allah SWT. Firman Allah dalam QS. Al-‘Alaq: 1–5, “Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq” (“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”), menjadi awal kebangkitan peradaban ilmu bagi umat Islam.
Islam tidak memisahkan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah SWT. Karena itu, ilmu dalam pandangan Islam bukan hanya alat untuk mencari pekerjaan, gelar, atau status sosial, melainkan jalan untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Namun, di zaman modern, banyak orang menuntut ilmu semata untuk keuntungan duniawi. Nilai moral, spiritual, dan keikhlasan dalam belajar sering terlupakan. Padahal, ilmu sejati menurut Islam adalah ilmu yang menumbuhkan iman, memperbaiki akhlak, dan membawa manfaat bagi sesama. Maka, sudah seharusnya umat Islam mengembalikan makna ilmu sebagai ibadah, bukan hanya sebagai alat duniawi.
A.Kedudukan dan Fungsi Ilmu dalam Islam
Dalam Islam, ilmu disebut sebagai nur atau cahaya yang menuntun manusia keluar dari kegelapan kebodohan menuju cahaya kebenaran. Dalam Al-Qur’an, kata ‘ilm disebut lebih dari tujuh ratus kali, menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan dalam kehidupan beragama.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mujadalah: 11, bahwa orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya di sisi Allah. Ini menandakan bahwa ilmu tidak hanya bernilai duniawi, tetapi juga merupakan bentuk ibadah dan bukti keimanan.
Dalam QS. Fathir: 28 juga dijelaskan bahwa orang yang paling takut kepada Allah adalah mereka yang berilmu. Dengan ilmu, seseorang bisa melihat kebesaran ciptaan Allah, memahami hukum alam, dan menyadari betapa kecil dirinya di hadapan Sang Pencipta.
Jadi, dalam Islam, ilmu bukan sekadar alat berpikir logis atau teknis, tapi juga sarana untuk menumbuhkan rasa takwa. Di sinilah letak perbedaan antara pandangan Islam dan pandangan sekuler yang memisahkan antara akal dan iman.
B. Ilmu dan Akhlak: Satu Kesatuan yang Tak Terpisahkan
Dalam Islam, ilmu tidak bisa dipisahkan dari akhlak. Seseorang dianggap berilmu bukan hanya karena banyak tahu, tapi karena mampu mengamalkan dan menjaga adab dalam berilmu.
Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini menegaskan bahwa belajar adalah kewajiban, tapi juga ibadah yang nilainya tergantung pada niat. Jika niatnya ikhlas, maka ilmu menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir, sebagaimana sabda Nabi dalam HR. Muslim: “Amal seseorang akan terputus kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
Namun, ilmu tanpa akhlak bisa berbahaya. Banyak orang cerdas secara intelektual, tetapi justru menipu, merusak, atau menindas karena tidak punya nilai moral. Imam Al-Ghazali mengingatkan, “Menuntut ilmu tanpa memperbaiki akhlak sama seperti menanam pohon tanpa akar tampak hidup, tapi mudah tumbang.”
Tujuan akhir dari ilmu dalam Islam bukan hanya kecerdasan, tetapi pembentukan kepribadian yang beriman, rendah hati, dan bermanfaat bagi orang lain. Ilmu yang sejati adalah ilmu yang membuat manusia semakin dekat dengan Allah dan lebih bijak dalam bertindak.
C.Pandangan Ulama tentang Hakikat Ilmu
Para ulama klasik memberi pandangan yang dalam tentang makna ilmu.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin membagi ilmu menjadi dua jenis: fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu) seperti ilmu agama, dan fardhu kifayah (wajib kolektif) seperti kedokteran, ekonomi, dan ilmu sosial. Menurutnya, umat Islam harus menguasai keduanya agar kehidupan dunia dan akhirat berjalan seimbang.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah membedakan ilmu naqliyah (yang bersumber dari wahyu) dan aqliyah (hasil pemikiran manusia). Keduanya tidak boleh dipisahkan, karena wahyu memberi arah moral, sedangkan akal membantu memahami realitas kehidupan.
Al-Farabi menyebut ilmu sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati (as-sa‘adah), yaitu kesempurnaan akal yang diiringi oleh etika.
Ibnu Sina menegaskan pentingnya ilmu rasional seperti filsafat dan kedokteran untuk mengenal kebesaran Allah dari sisi logika dan penelitian.
Ulama Nusantara juga menekankan pentingnya adab dalam menuntut ilmu. KH. Hasyim Asy‘ari dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim mengingatkan bahwa orang berilmu tanpa akhlak ibarat api tanpa kendali bisa membakar siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
Sementara Buya Hamka menulis dalam Falsafah Hidup bahwa ilmu harus membuat manusia semakin beriman, bukan semakin sombong.Dari pandangan para ulama ini, tampak bahwa Islam sangat menghargai ilmu yang berpadu dengan moral, bukan ilmu yang kering dari nilai spiritual.
D. Ilmu dan Tantangan Zaman Modern
Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini membawa banyak kemajuan, tapi juga tantangan baru. Dunia memang menjadi lebih mudah dan cepat, namun di sisi lain muncul berbagai krisis moral, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial.
Islam mengingatkan bahwa ilmu seharusnya digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, bukan untuk keserakahan. Ketika ilmu lepas dari iman, manusia bisa kehilangan arah. Contohnya, kemajuan teknologi bisa digunakan untuk perang, kejahatan siber, atau eksploitasi alam yang merusak.
Karena itu, Islam menekankan keseimbangan antara akal, hati, dan iman. Ilmu harus diarahkan untuk kemaslahatan, bukan kebinasaan. Seorang ilmuwan Muslim idealnya bukan hanya pintar, tapi juga berakhlak mulia dan berjiwa sosial.
Dalam QS. Al-Baqarah: 201, Allah mengajarkan doa, “Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” yang menunjukkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Begitu pula dalam belajar dan berilmu harus seimbang antara pencapaian duniawi dan nilai ukhrawi.
Dengan cara ini, kemajuan ilmu dan teknologi tidak akan menjauhkan manusia dari Tuhan, tetapi justru mendekatkannya.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































