Tindakan represif aparat terhadap mahasiswa yang mengungkapkan pendapat kembali menyoroti ironi dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi justru tereduksi melalui intimidasi dan kekerasan. Kasus kriminalisasi terhadap peserta demonstrasi, seperti yang terjadi pada aksi May Day di Semarang, menunjukkan bahwa hukum seringkali digunakan sebagai alat untuk melindungi kekuasaan, bukan keadilan.
Mahasiswa yang berupaya menyampaikan aspirasi secara damai malah dijerat dengan berbagai pasal pidana, tanpa adanya proses hukum yang transparan. Tindakan semacam ini mencerminkan penyalahgunaan kewenangan dan kegagalan aparat dalam menjalankan tugasnya secara profesional. Kekerasan yang terekam dan tersebar di media sosial hanya memperburuk citra aparat di mata publik, sekaligus menegaskan bahwa supremasi sipil belum sepenuhnya diakui dalam praktik.
Meskipun demikian, kehadiran lembaga bantuan hukum dan semangat solidaritas sipil menjadi bukti bahwa masih ada kekuatan masyarakat yang melawan ketidakadilan. Namun, jika negara terus membiarkan kekerasan dan kriminalisasi ini terjadi, maka tatanan demokrasi akan terus terancam. Aparat seharusnya berfungsi sebagai pelindung, bukan sebagai musuh bagi rakyat yang bersuara.
Ketika Suara Disamakan dengan Kejahatan

Menetapkan enam mahasiswa sebagai tersangka hanya karena ikut demonstrasi jelas merupakan bentuk ketidakadilan. Mereka dijerat dengan pasal-pasal seperti Pasal 212 dan 170 KUHP yang kerap disebut sebagai “pasal karet” karena dapat menyetujui keinginan aparat. Padahal, tindakan yang mereka lakukan bertujuan untuk menyampaikan pendapat secara damai, sesuatu yang dijamin oleh hukum dan hak asasi manusia. Tuduhan bahwa mereka “melawan petugas” kerap kali digunakan tanpa bukti yang jelas, dan sangat rawan disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis. Hal ini membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat di ruang publik.
Kriminalisasi seperti ini tidak hanya merugikan mereka yang ditangkap, tetapi juga memberikan pesan buruk kepada masyarakat bahwa menyuarakan kebenaran dapat berujung pada hukuman penjara. Hal ini sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi kita. Tindakan kriminal seharusnya dilihat sebagai bagian dari partisipasi warga negara, bukan sebagai ancaman bagi negara. Jika hukum terus digunakan sebagai alat pembungkaman, maka keadilan hanya akan berpihak pada mereka yang berkuasa. Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyatnya, bukan mengancam mereka yang bersuara.
Tindakan Kekerasan Aparat

Laporan tentang kekerasan fisik, penahanan yang sewenang-wenang, serta perundungan terhadap para peserta aksi dan jurnalis mahasiswa menyoroti rendahnya standar profesionalisme aparat. Seharusnya, tugas utama kepolisian adalah melindungi masyarakat, bukan menyebarkan rasa takut. Aksi pemukulan, penahanan di tempat yang tidak layak, serta penyitaan alat dokumentasi jelas menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Bahkan, mahasiswa yang tidak melakukan perlawanan pun mengalami perlakuan kasar, yang mencerminkan kurangnya perbedaan dalam penanganan berdasarkan tindakan yang dilakukan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, kekerasan tidak hanya ditujukan kepada peserta aksi, tetapi juga kepada jurnalis kampus yang sedang meliput peristiwa tersebut. Hal ini mencerminkan adanya upaya untuk membungkam dokumentasi publik, yang seharusnya berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap aparat negara. Ketika kekerasan dibiarkan tanpa pertanggungjawaban, pelanggaran hak asasi manusia akan terus berulang dan menjadi pola yang dianggap wajar dalam penanganan unjuk rasa. Keadaan ini menandakan adanya masalah sistemik dalam institusi kepolisian yang perlu segera diperbaiki secara menyeluruh, baik melalui reformasi hukum maupun peningkatan transparansi dan pengawasan publik.
Peran Lembaga Hukum dan Sipil
Enam mahasiswa yang terlibat dalam aksi May Day di Semarang pada 1 Mei 2025 ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melawan petugas. Mereka dikenakan dakwaan dengan Pasal 211, 212, 214, dan 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebelumnya, 18 orang mengalami penangkapan, tetapi 4 di antara mereka telah dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Delapan orang yang lain dibebaskan secara bertahap, sementara enam orang masih terus ditahan hingga 2 Mei 2025. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mendampingi mereka dari segi hukum dan berusaha untuk mendapatkan penangguhan penahanan. Peran lembaga hukum, seperti LBH Semarang dibutuhkan disini, lembaga tersebut berperan dalam melindungi hak-hak hukum peserta aksi.
Mereka memberikan bantuan hukum kepada mahasiswa yang dituduh, memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Dalam kasus ini, solidaritas sipil terlihat melalui upaya bersama untuk mendampingi mahasiswa yang ditangkap, mengadvokasi hak-hak mereka, dan menuntut akuntabilitas atas tindakan aparat yang dianggap melanggar hak asasi manusia. Gerakan solidaritas ini mencerminkan kekuatan masyarakat dalam mempertahankan demokrasi dan menuntut keadilan. Peristiwa ini menyoroti signifikansi peran lembaga hukum dan solidaritas sipil dalam menjaga hak-hak konstitusional warga negara demi membangun sistem hukum yang adil dan transparan.
Biodata penulis :
Adhini Tri Rahmawati, email: adhinitri@student.ub.ac.id
Alsya Aulia Fitriani, email: alsyaaulia162@student.ub.ac.id
Renita Naila Fajriah, email: nailatata2903@student.ub.ac.id
Zuhrynda Nawang Maharani, email: zuhryndanawangm@student.ub.ac.id
Nomer telepon yang dapat dihubungi: 082141240299