Era Society 5.0 yang saat ini sedang digadang-gadang akan segera masyarakat Indonesia atau mungkin negara maju sudah dihadapkan adalah sebuah era di mana masyarakat mampu mengintegrasikan antara ruang internet dan ruang kehidupan nyata guna menyelesaikan tantangan sosial. Tantangan sosial yang hadir mampu diselesaikan secara baik menggunakan Big Data, kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Think (IOT) yang nyaris tidak bisa kita lepaskan dalam kehidupan sehari-hari hampir di seluruh bidang tanpa terkecuali pendidikan, Pendidikan sebagai sebuah system yang membentuk sebuah peradaban bangsa Indonesia nampaknya tidak bisa lepas dari gelombang perubahan ini. Sudah sering kita temukan bagaimana dalam pembelajaran di sekolah pemanfaatan teknologi tidak dapat dihindari. Di Indonesia jika dahulu mungkin hanya pembelajaran mata pelajaran TIK, maka berbeda dengan saat ini yang mana semua pembelajaran nyaris tidak terlepas oleh namanya digitalisasi.
Fenomena transformasi digital di Indonesia tidak terlepas dari banyaknya pengguna internet. Berdasarkan laporan dari Komdigi RI, setidaknya hingga saat ini pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 221 juta, setara dengan 79,5 persen dari total populasi Indonesia yang menjadikan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Laporan lain dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 bahwa terdapat 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, sementara 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet. Artinya, hanya ada 4,41 persen saja yang menggunakan telepon selular tanpa adanya akses internet. Sebuah hasil yang mengesankan namun sekaligus mengkhawatirkan. Sisi mengesankannya adalah, artinya angka melek teknologi generasi muda kita tinggi, tetapi sebaliknya, sisi mengkhawatirkannya adalah untuk apa anak usia dini sudah mengakses internet.
Faktor utama di atas menjadi dasar yang kuat mengapa pembelajaran di era Society 5.0 akan memiliki tantangan utama yang berat tanpa terkecuali dalam pembelajaran bahasa Indonesia karena adanya banjir informasi dan disrupsi digital. Tantangan yang muncul adalah siswa kini terpapar oleh berbagai bentuk konten digital yang terkadang menggunakan ragam bahasa tidak formal dan tidak terstruktur. Ketidak terstruktur ini berpotensi mengganggu waktu dan fokus belajar bahasa secara mendalam terutama kaidah yang lebih formal dalam konteks penggunaan kehidupan. Mereka dituntut harus mampu memfilter informasi yang benar dan mana yang mengarah ke hoaks, ujaran kebencian dan disinfromasi.
Tantangan kedua yang tidak kalah berat adalah penggunaan gaya komunikasi yang berubah dan kecanduan terhadap teknologi berbasis otomatisasi dan translasi. Komunikasi yang pada awalanya bisa berjalan seusai kaidah kebahasaan lambat laun akan tergeser menjadi lebih ringkas, informal dan sarat diungkapkan dalam bentuk emoji, singkatan dan akronim. Imbas dari fenomena ini akan sedikit demi sedikit mengiris kemampuan kognitif dan praktis dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar terutama dalam konteks formal. Selain itu kecenderungan terhadap produk berbasis menggunakan Big Data, kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Think (IOT) yang mudah diakses akan menjadikan siswa kecanduan sehingga menurunkan motivasi belajar struktur bahasa secara mandiri karena merasa sudah cukup dengan mengandalkan bantuan alat-alat tersebut.
Tantangan ketiga adalah akan muncul kesenjangan digital atau yang biasa disebut digital divide. Kesenjangan digital menciptakan disparitas dalam kesempatan belajar. Walaupun kita berbicara mengenai Society 5.0 yang mana akses terhadap teknologi dan literasi digital terasa cepat dan mudah, ternyata ketidakmerataan digitalisasi tersebut belum merata di seluruh wilayah tanah air. Bisa dipastikan 20,5 persen populasi yang belum tersentuh internet di atas menjadi bagian dari ketidakmerataan ini. Namun, bisa jadi presentasenya bertambah karena yang mendapatkan akese internet bisa saja tidak tahu cara memanfaatkan teknologi tersebut dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Siswa dari daerah berkembang atau bahkan tertinggal mungkin akan menjadi yang pertama merasakan kesulitan akses digital dengan mudah sementara siswa daerah perkotaan dapat dengan mudah menikmati berbagi platform dan aplikasi interaktif. Kesenjangan digital inilah yang perlu solusi yang inklusif di masa yang akan datang.
Ketika ada kelemahan pasti akan ada kemudahan, tak terkecuali di era Society 5.0. Era Society disinyalir akan membuka peluang emas dan solusi inovatif untuk pembelajaran bahasa Indonesia. Kunci dari keberhasilan ini adalah kekayaan dalam menguasai berbagai produk dan alat digital. Kecerdasan buatan (AI) dan Big Data dapat menjadi jembatan dalam personalisasi pembelajaran. AI misalnya, kecerdasan buatan dapat digunakan untuk menganalisis gaya belajar, strength, dan weakness dari setiap siswa untuk guru menyediakan porsi materi dan latihan yang pas. Selain itu, AI dapat digunakan untuk memberikan feedback secara instan dan bahkan jika kepepet mampu menjadi tutor virtual interaktif yang siap menggantikan guru yang siap memberikan pengajaran layaknya guru profesional. Selanjutnya, Big Data dari proses interaksi siswa dapat dikombinasikan dengan platform digital untuk membantu guru dalam memahami kesulitan belajar siswa secara lebih komprehensif.
Keterampilan pedagogi guru juga dapat diinovasikan dengan mengintegrasikan dengan teknologi berbasis blended learning. Blended learning merupakan perpaduan antara pembelajaran daring dan luring. Guru juga dapat menggunakan model flipped classroom yaitu dengan mempelajari materu dasar secara daring sebelum dibawakan di kelas sehingga waktu di dalam kelas dapat dimanfaatkan untuk diskusi dan praktik yang selaras dengan kurikulum merdeka yang menekankan keaktifan siswa. Penggunaan game dalam elemen pembelajaran juga bisa meningkatkan motivasi dan mengatasi rasa bosan dalam proses belajar karena pasti akan melibatkan siswa. Materi bahasa Indonesia dapat pula dimuat di platform video, podcast, atau yang semisalnya untuk kemudahan akses kapan saja tanpa harus datang ke sekolah.
Literasi sebagai jantung pembelajaran bahasa Indonesia tentu menjadi poin yang harus diperhatikan, Berkembangnya literasi ke arah digital atau biasa yang disebut literasi digital juga perlu dikritisi dan diperhatikan oleh guru dan siswa. Guru perlu membekali siswa kemampuan menilai informasi berdasarkan keabsahan atau tidaknya dan memahami etika berkomunikasi di internet (NETIKET), sehingga bahasa Indonesia dapat menjadi alat filter yang kritis bagi siswa dalam menavigasi dunia digital yang kompleks
Terakhir, profesionalisme guru dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran Bahasa Indonesia harusa dikembangkan secara baik. Peran guru akan merangkap menjadi fasilitator, kreator dan bahkan navigator bagi siswanya. Guru tidak lagi sebagai penyampai materi layaknya belajar secara konvensional, tetapi guru juga bagian dari pengalaman belajar yang menarik, kurator konten, dan pendampingan agar menjamin siswa mampu memanfaatkan teknologi secara tanggung jawab.
Sebagai penutup, era Society 5.0 merupakan sebuah keniscayaan yang membawa perubahan termasuk dalam lingkup pembelajaran bahasa Indonesia. Tantangan-tantangan yang hadir seperti derasnya informasi, perubahan gaya komunikasi, dan kesenjangan digital memang tidak akan bisa terindahkan. Namun, dengan kesadaran dan adaptasi yang tepat akan mampu mengubah tantangan tersebut menjadi peluang yang memanfaatkan teknologi mutakhir untuk personalisasi, pedagogi, dan penguatan literasi digital. Pada akhirnya, pembelajaran bahasa Indonesia di era Society 5.0 aka mampu menghasilkan generasi yang tidak sekedar cakap teknologi, tetapi juga tumbuh menjadi generasi cakap berbahasa, berliterasi digital dan mampu memberikan kontribusi yang positif bagi kemandirian bangsa.