Obesitas kini bukan hanya sekadar soal pola makan tinggi kalori atau kebiasaan malas bergerak. Studi terbaru menunjukkan bahwa lingkungan tempat tinggal kita bisa memengaruhi berat badan. Bahkan diam-diam mendorong masyarakat menuju obesitas. Fenomena ini dikenal sebagai,”Lingkungan obesogenik” dan kini menjadi perhatian global.
Lebih dari 2,5 Miliar Orang Dewasa Mengalami Kelebihan Berat Badan
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, sebanyak 2,5 miliar orang dewasa berusia 18 tahun ke atas mengalami kelebihan berat badan, termasuk 890 juta orang yang mengalami obesitas. Artinya 1 dari 8 orang di dunia menderita obesitas dan 43% dari total orang dewasa mengalami kelebihan berat badan (WHO, 2024). Angka ini melonjak drastis dibanding tahun 1990, ketika hanya 25% orang dewasa yang mengalami kelebihan berat badan. Perubahan gaya hidup dan pola makan memang berperan, tapi lingkungan obesogenik muncul sebagai faktor pendorong yang tidak kalah penting (WHO, 2024).
Lingkungan Yang Gampang Bikin Gemuk?
Lingkungan obesogenik adalah kondisi fisik dan sosial di sekitar individu yang memudahkan munculnya perilaku tidak sehat, seperti konsumsi makanan tinggi gula dan lemak, serta minim aktivitas fisik.
Menurut WHO, lingkungan obesogenik berkaitan dengan:
1. Terbatasnya akses makanan sehat dan terjangkau.
2. Minimnya ruang publik yang aman dan nyaman untuk bergerak.
3. Tidak adanya regulasi yang membatasi pemasaran makanan tidak sehat.
Hal ini sejalan dengan teori H.L. Blum, yang menyatakan bahwa 40% derajat kesehatan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang lebih besar dibandingkan faktor genetik (10%) maupun pelayanan kesehatan (20%).
Sebuah Penelitian Menemukan bahwa: Semakin Obesogenik, Semakin Gemuk.
Sebuah studi berskala besar dilakukan oleh (Meijer et al., 2024) di Belanda yang berjudul “The Association Of Obesogenic Environments With Weight Status, Blood Pressure, And Blood Lipids: A Cross-Sectional Pooled Analysis Across Five Cohorts” meneliti lebih dari 183 ribu orang dewasa dari lima kohort berbeda. Studi ini menggunakan OBCT Index, sebuah indeks yang mengukur obesogenisitas suatu lingkungan berdasarkan akses ke makanan sehat, walkability, driveability, dan fasilitas olahraga. Hasilnya:
1. Setiap peningkatan 10 poin skor lingkungan obesogenik berhubungan dengan kenaikan BMI sebesar 0,17 kg/m²
2. Risiko kelebihan berat badan naik 3% dan obesitas naik 4%
Lingkungan ini juga meningkatkan risiko hipertensi, meskipun tidak terlalu berpengaruh terhadap kadar kolesterol dalam darah. Faktor walkability dan driveability (kemudahan berjalan kaki vs penggunaan kendaraan) menjadi penentu paling kuat. Semakin tidak ramah pejalan kaki dan semakin dominan kendaraan, semakin tinggi pula risiko obesitas.
Ketimpangan Akses dan Keadilan Kesehatan
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa:
1. Di wilayah dengan status sosial ekonomi rendah, dampak obesogenik terhadap hipertensi lebih besar
2. Sedangkan untuk BMI dan obesitas, dampak lebih terasa di wilayah dengan status sosial ekonomi tinggi
Artinya, desain lingkungan kota yang tidak ramah kesehatan bukan hanya isu fisik, tapi juga isu keadilan sosial. Orang-orang di lingkungan tidak sehat punya lebih sedikit kesempatan untuk hidup sehat, baik dari segi infrastruktur, ekonomi, maupun regulasi.
Solusi: Intervensi Lingkungan untuk Cegah Obesitas
Jika akar masalahnya adalah lingkungan, maka solusinya pun harus sistemik:
1. Mendorong tata kota yang ramah pejalan kaki.
2. Menambah ruang terbuka hijau dan fasilitas olahraga.
3. Mengatur distribusi outlet makanan cepat saji.
4. Memberlakukan regulasi pemasaran makanan ultra-proses, khususnya di sekitar sekolah.
Obesitas adalah Masalah Kolektif, Bukan Sekadar Individual
Obesitas tidak lagi bisa ditanggulangi hanya dengan mengimbau setiap individu untuk “makan sehat” atau “rajin olahraga”. Tanpa lingkungan yang mendukung, nasihat itu hanya akan menjadi jargon belaka. Sekarang, saatnya kita melihat obesitas sebagai masalah struktural yang memerlukan intervensi berbasis lingkungan dan kebijakan publik yang berpihak pada kesehatan masyarakat. Jadi, pertanyaannya bukan lagi, “kenapa orang-orang susah untuk hidup sehat?”, Tapi justru: “Sudahkah lingkungan kita memberi ruang bagi setiap individu untuk hidup lebih sehat?”.