Isi : Transparansi pemerintahan adalah hal yang memang seharusnya diterapkan dalam sistem pemerintahan negara agar tidak terjadinya kekacauan atau konflik pada negara.
Namun karena banyaknya para pejabat negara yang tidak bertanggung jawab sering kali menyalahgunakan kekuasaan dan mementingkan kepentingan pribadi sehingga masyarakat sulit sekali mempercayai kinerja pemerintah.
Seperti contohnya ada beberapa para pejabat negara yang melakukan tindakan korupsi sehingga masyarakat mengoposisi jabatan mereka contohnya seperti yang terjadi di negara Bulgaria.
Pada tanggal 11 Desember 2025 terjadinya protes besar besaran anti korupsi di seluruh negeri.
Pada akhir November 2025 protes besar besaran yang dipimpin oleh generasi Z meletus di ibukota Sofia dan kota-kota lain, menuntut pengunduran diri pemerintah dan reformasi untuk mengatasi korupsi yang mangkar.
Awal Desember 2025 protes berlanjut dan membesar, di dorong oleh kekecewaan publik yang mendalam terhadap elite politik dan dugaan mega korupsi, serta rancangan anggaran tahun 2026 dianggap kontroversial.
11 Desember 2025 perdana menteri Rosen Zhelyazkov mengumumkan pengunduran dirinya dan seluruh kabinetnya melalui siaran televisi, hanya dalam beberapa menit parlemen di jadwalkan melakukan pemungutan suara mosi tidak percaya yang keenam.
12 Desember 2025 parlemen Bulgaria secara bulat menerima pengunduran diri pemerintah koalasi tersebut.
Pertengahan Desember 2025 Presiden Rumen Radev mulai mengadakan konsultasi dengan berbagai kelompok parlemen untuk menjajaki kemungkinan pembentukan pemerintahan baru atau menetapkan tanggal pemilihan umum sela.
Dalam peristiwa tersebut menunjukkan bahwa generasi muda khususnya Gen Z bukan kelompok apatis, melainkan aktor atau peranan yang mampu mengubah atau mendorong perubahan nyata. Di saat saluran formal dianggap tidak responsif, maka tekanan publik yang terorganisir menjadi alat koreksi kekuasaan.
Keberhasilan gerakan Gen Z di Bulgaria mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam menjaga kepercayaan publik. Korupsi, kurangnya transparansi dari ketidakadilan sosial menjadi pemicu utama runtuhnya legitimasi kekuasaan.
Karena banyaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi karena kurangnya transparansi, lalu seharusnya hal apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk meminimalisir tindakan korupsi.
Sebenarnya pemerintah juga bisa melakukan beberapa cara untuk meminimalisir tindakan korupsi dan cara menanggulanginya.
Transparansi bukan cuma slogan tetapi juga harus diwujudkan untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan membuktikan bahwa pemerintah bukan cuma hanya ucapan belaka.
Selain itu diera digitalisasi saat ini teknologi yang semakin canggih seharusnya pemerintah bisa memanfaatkan teknologi lebih baik agar masyarakat mampu membaca setiap anggaran yang keluar agar tidak menimbulkan konflik dan pemerintah mampu mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat.
Dengan memanfaatkan digitalisasi dan masyarakat yang dapat mengakses pengeluaran anggaran negara birokrasi pemerintah tidak dapat memonopoli sistem anggaran negara.
Lalu bagaimana Hukum Administrasi Negara menanggapi ketidak terbukaannya sistem birokrasi pemerintah tentang anggaran negara yang mengakibatkan korupsi.
Dalam tanggapan Hukum Administrasi Negara secara normatif telah menempatkan keterbukaan anggaran sebagai kewajiban hukum, namun secara empiris gagal memastikan kepatuhan birokrasi.
Ketidak terbukaan anggaran bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan cacat struktural dalam desain Hukum Administrasi Negara itu sendiri. Selama Hukum Administrasi Negara masih menempatkan transparansi sebagai asas normatif tanpa disertai sanksi keras, keterlibatan publik yang mengikat, dan keterbukaan data secara realtime, maka korupsi akan tetap menjadi produk rasional dari sistem birokrasi yang tertutup.
Maka hal ini masih menjadi PR bagi kita untuk menerapkan sistem pemerintahan yang baik dan efektif.
Sanksi administratif yang diterapkan tidak sebanding dengan dampak kerugian negara. Ketertutupan anggaran yang sistematik jarang berujung pada pencopotan jabatan atau pembatalan kebijakan, sehingga tidak menciptakan efek jera. Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Administrasi Negara masih lebih berorientasi pada stabilitas birokrasi dibandingkan perlindungan kepentingan publik.
Karena sanksi yang didapat tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh negara dan masyarakat itu membuat pelaku tidak memiliki efek jera.
Seharusnya sanksi yang diberikan bagi pelanggan Administrasi harus lebih tegas agar memberi efek jera kepada pihak yang melakukan pelanggaran tersebut.
Menanamkan jiwa Integritas dan Nasionalisme yang tinggi dalam dirinya sendiri agar para pihak yang memiliki wewenang tidak dapat menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki karena ia akan mengabdikan dirinya hanya bekerja untuk kepentingan negara bukan individu ataupun golongan.
Melakukan evaluasi meskipun negara telah membangun kerangka hukum transparansi yang relatif lengkap, Hukum Administrasi Negara masih berfungsi sebagai alat legalisasi tindakan birokrasi, bukan sebagai mekanisme pembatas kekuasaan yang efektif.
Kategori : Opini
@siaran-berita.com
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































