Katanya sih pemberdayaan, tapi rasa-rasanya kok lebih mirip jualan ya? Banyak pelaku pemberdayaan datang ke desa dengan semangat… eh maksudnya, dengan proposal tebal dan senyum lebar. Ada yang niatnya tulus, benar-benar ingin menguatkan masyarakat. Salut! Tapi sayangnya, yang kayak begini langka, kalah jumlah sama yang cuma modal jargon dan foto selfie bareng warga.
Ada yang datang ke desa pakai rompi “aktivis”, tapi kelakuannya lebih mirip makelar. Menggali masalah masyarakat, tapi bukan untuk bantu warga menyelesaikan, melainkan supaya bisa jualan solusi. Warganya disuruh nunggu, dianalisis, dijanjikan ini-itu… ujungnya? Dikasih proposal harga jasa. Canggih!
Ada juga yang gaya kayak sales MLM. Jual proyek dengan embel-embel “visi misi pemberdayaan.” Pas proyek selesai? Tinggal papan nama dan kenangan. Warga? Masih di tempat, nggak ngerti kenapa tiba-tiba ada taman bacaan mangkrak di pojok balai desa.
Paling unik nih, yang jualan kedekatan. Foto bareng pejabat, update medsos tiap detik, seolah-olah dialah jembatan emas desa ke pusat kekuasaan. Tapi ternyata ya tetap jualan. Produk-program yang dipaksa cocok padahal nggak dibutuhin. Yang penting laku dulu, soal manfaat urusan belakangan.
Warga desa? Ya ampun, nasibnya cuma jadi objek abadi. Didatangi, dijanjikan, dijadikan foto dokumentasi. Tapi untuk diajak mikir bareng, dilatih ambil keputusan, atau sekadar diajak jadi subjek pembangunan? Jauh panggang dari api.
Padahal yang dibutuhin desa bukan orang pintar yang sok tahu, tapi orang yang mau dengar, mau bareng-bareng, dan percaya bahwa warga bisa. Pemberdayaan sejati bukan soal “bawa program”, tapi soal “tumbuhkan kekuatan”.
Tapi ya sudahlah, mungkin pemberdayaan sekarang memang lebih cocok disebut: “jualan rasa-rasa peduli.”