Perkembangan teknologi dewasa ini bergerak begitu cepat hingga sering kali manusia merasa tidak sempat berhenti dan bertanya: ke mana sebenarnya teknologi ini membawa kita? Kita hidup dalam zaman dimana kecerdasan buatan dapat meniru cara berpikir manusia, ketika informasi menyebar lebih cepat daripada kemampuan kita untuk memverifikasinya, dan ketika batas antara dunia nyata dan digital semakin kabur. Dalam situasi yang serba kompleks seperti ini, pertanyaan tentang nilai, etika, dan arah perkembangan teknologi menjadi sangat penting. Maka disinilah Islam, sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya dan alam, memiliki peran yang tidak bisa diabaikan.
Sejak awal, Islam telah menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian integral dari kehidupan umatnya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya berpikir, merenung, dan meneliti fenomena alam. Al-Qur’an bahkan menggunakan kata “iqra’” yang berarti bacalah, sebagai perintah pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. Perintah ini tidak hanya sekadar ajakan membaca teks, tetapi juga membaca alam semesta, membaca realitas, dan membaca perkembangan zaman. Artinya, Islam sejak awal telah membangun fondasi epistemologis bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan adalah bagian dari ibadah apabila digunakan untuk kebaikan.
Namun, perkembangan teknologi masa kini tidak berjalan dalam ruang yang steril. Ia bergerak dalam arus ekonomi global, persaingan ideologi, dan kepentingan industri. Teknologi sering dibentuk oleh motif profit, bukan moral. Ketika teknologi seperti media sosial digunakan lebih banyak untuk memanipulasi opini publik, ketika data pribadi diperlakukan sebagai komoditas seperti barang dagangan, dan ketika inovasi teknologi justru melahirkan kesenjangan sosial yang baru, manusia mulai mempertanyakan kembali nilai dasar yang seharusnya menjadi penuntun perkembangan teknologi.
Dalam konteks inilah Islam memiliki peran penting sebagai kompas moral. Prinsip-prinsip Islam seperti keadilan, kemaslahatan, amanah, dan keseimbangan dapat menjadi landasan kuat dalam menghadapi teknologi modern. Misalnya, dalam konsep maqashid al-shari’ah, tujuan-tujuan syariat yang mencakup perlindungan jiwa, akal, agama, keturunan, dan harta, menawarkan kerangka etis yang relevan dalam menilai teknologi baru. Apakah sebuah inovasi teknologi membawa manfaat atau justru mencederai lima tujuan dasar tersebut? Dengan kerangka itu, umat Islam dapat bersikap kritis tanpa harus bersikap anti teknologi.
Salah satu tantangan terbesar dalam perkembangan teknologi adalah kaitannya dengan akhlak digital. Perkembangan media sosial sering kali melahirkan budaya saling menyalahkan, fitnah, hoaks, dan polarisasi. Padahal, Islam mengajarkan adab dalam berkata-kata, bahkan mengingatkan bahwa kalimat yang baik adalah sedekah. Jika prinsip ini diterapkan dalam ruang digital, maka penggunaan teknologi informasi tidak akan menjadi alat untuk merusak, tetapi menjadi sarana memperkuat ukhuwah, menyebarkan ilmu, dan meningkatkan literasi umat.
Selain itu, teknologi kecerdasan buatan (AI) menimbulkan pertanyaan etis yang sangat kompleks. Ada kekhawatiran bahwa AI akan mengambil alih pekerjaan manusia, merusak privasi, atau bahkan menjadi alat manipulasi sosial. Islam tidak menolak teknologi ini, tetapi memberikan perspektif penting yaitu bahwa teknologi harus tetap berada dalam kendali manusia, dan manusia harus berada dalam kendali nilai-nilai moral. Dalam Islam, manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah di bumi, pemimpin yang bertanggung jawab, bukan penguasa yang semaunya. Ketika teknologi dipahami sebagai amanah yang harus dikelola dengan tanggung jawab, maka umat Islam dapat memanfaatkannya tanpa kehilangan kemanusiaannya.
Dalam dunia kesehatan, teknologi berkembang luar biasa pesat. Mulai dari rekayasa genetika, teknologi reproduksi, hingga cyborg medis. Islam mendorong inovasi dalam kesehatan sepanjang tidak melanggar batas-batas etika yang menjaga martabat manusia. Misalnya, penggunaan teknologi untuk memperpanjang hidup atau meningkatkan kualitas hidup diterima, tetapi eksploitasi tubuh manusia untuk kepentingan komersial jelas ditolak. Sebuah prinsip “tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (lā ḍarar wa lā ḍirār) tetap relevan dan dapat menjadi pedoman dalam perkembangan teknologi medis.
Teknologi pun dapat membantu umat Islam menjalankan ibadah dengan lebih mudah. Aplikasi pengingat waktu shalat, Al-Qur’an digital, platform dakwah, hingga penghitungan zakat otomatis adalah contoh nyata bagaimana teknologi bisa menjadi sarana mendekatkan manusia kepada Allah. Namun, kemudahan ini juga harus dibarengi dengan kesadaran bahwa ibadah sejatinya adalah kedekatan hati, bukan sekadar aktivitas yang dibantu teknis oleh teknologi. Artinya bahwa teknologi boleh membantu, tetapi tidak boleh menggantikan esensi spiritualitas.
Salah satu aspek yang sering dilupakan adalah bagaimana Islam mendorong umatnya untuk memimpin, bukan hanya mengikuti perkembangan teknologi. Sejarah Islam mencatat bagaimana ilmuwan Muslim pada masa Abbasiyah seperti Al-Khawarizmi, Ibn Sina, Al-Farabi, dan Ibn al-Haytham menjadi pelopor dalam berbagai bidang sains. Mereka tidak hanya mempelajari ilmu dari peradaban lain, tetapi mengembangkannya secara kreatif dan etis. Semangat inilah yang perlu dihidupkan kembali. Umat Islam hari ini tidak cukup hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi harus tampil sebagai pencipta inovasi yang membawa kemaslahatan.
Namun, untuk memainkan peran ini, diperlukan ekosistem pendidikan yang mendorong integrasi ilmu agama dan ilmu sains. Banyak mahasiswa Muslim masih melihat ilmu agama dan ilmu sains sebagai dua hal yang bertentangan, padahal keduanya harus berjalan berdampingan. Ketika kampus melalui mata kuliah seperti Islam dan Ilmu Pengetahuan mendorong mahasiswa untuk memahami posisi Islam dalam sains modern, maka generasi muda akan memiliki landasan epistemologis dan moral yang kuat dalam memandang dunia teknologi.
Pada akhirnya, peran Islam dalam mengarahkan perkembangan teknologi bukanlah tentang menolak atau menerima teknologi secara buta, tetapi tentang memberikan arah: apakah teknologi itu membawa kita lebih dekat kepada nilai kemanusiaan, keadilan, dan ketakwaan, atau justru menjauhkan kita dari nilai-nilai tersebut. Teknologi hanyalah alat. Manusialah yang menentukan tujuan dan arah penggunaan alat tersebut. Dengan nilai-nilai Islam sebagai kompas, umat Muslim dapat menjadikan teknologi sebagai sarana kebaikan, bukan ancaman.
Dunia modern membutuhkan suara moral, dan Islam memiliki kekayaan nilai yang relevan untuk itu. Oleh karena itu, peran Islam bukan hanya menjadi penonton dalam perkembangan teknologi, tetapi menjadi pemberi arah, agar kemajuan tidak kehilangan nilai, dan inovasi tidak melukai martabat manusia. Dengan demikian, Islam dan teknologi tidak perlu dipertentangkan, keduanya bisa berjalan berdampingan dalam menciptakan peradaban yang lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih beradab.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
Baca Juga
