Berawal dari serangan Oktober 2023 hingga perang informasi
Perang yang terjadi di Gaza sejak Oktober 2023 bermula ketika Israel melakukan invasi pada 27 Oktober menjadi titik awal eskalasi besar dimana invasi tersebut menjadi respon Israel terhadap serangan Hamas serta penahanan sandera warga Israel di Gaza. Konflik ini tidak hanya melibatkan pertempuran senjata, namun juga melahirkan perang informasi. Tak lama setelah invasi dimulai, platform media sosial seperti seperti X (sebelumnya Twitter), Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi oleh informasi yang berisi cerita, gambar dramatis, hingga video yang memperlihatkan situasi di Gaza. Para jurnalis, aktivis, pengguna media sosial, dan bahkan politisi terlibat dalam menyebarkan informasi yang dianggap sebagai “kebenaran” bagi mereka. Sayangnya, informasi yang disebarkan seringkali tidak akurat karena mengandung misinformasi, berita palsu, dan bahkan manipulasi visual berbasis Artificial Intelligence (AI) yang hanya diciptakan untuk mendapatkan konten viral.
Perang Informasi Bukanlah Hal Baru
Strategi penggunaan informasi sebagai sebagai alat untuk perang bukanlah hal yang baru dilakukan dalam konflik Israel-Palestina. Sebelumnya pada Desember 2008 hingga Januari 2009, dalam serangan militer Israel ke Gaza dalam “Operation Cast Lead” juga terjadi perang informasi. Pihak Israel maupun Palestina saling membentuk narasi dan mengontrol arus informasi untuk mempengaruhi opini publik.
Mengutip Hiram Johnson, seorang senator AS di awal abad ke-20, “Ketika perang terjadi yang menjadi korban pertama adalah kebenaran.” Kutipan tersebut terasa lebih relevan dalam konteks konflik Israel-Palestina, dimana informasi palsu sering beredar di media sosial selama perang terjadi.
Demi Meraih Simpati dan Dukungan Internasional
Berita palsu dalam perang informasi jelas untuk menjatuhkan pihak lawan demi meraih simpati publik serta dukungan internasional. Banyak sekali kelompok pendukung Israel yang menyebarkan berita hoaks dengan konten-konten yang berisi penghinaan terhadap masyarakat Palestina agar membenarkan agresi militer Israel. Akibatnya, masyarakat internasional termasuk Indonesia menjadi rentan untuk terpapar konten manipulatif. Berdasarkan Indeks Masyarakat Digital Indonesia, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia sebesar 43,34% pada tahun 2024. Hal ini menunjukkan bahwa literasi digital di Indonesia masih memprihatinkan dan bahkan masih berada di peringkat bawah di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, para pengguna media sosial harus mampu memerangi hoax yang banyak beredar di media sosial.
Melawan Hoaks menjadi Tanggung Jawab Pengguna
Amnesty International menyarankan sejumlah langkah yang dapat dilakukan oleh masyarakat umum untuk melawan penyebaran hoaks dalam konflik Israel-Palestina :
- Diversifikasi sumber informasi
Dalam mencari sebuah informasi, jangan hanya mengandalkan satu sumber berita. Masyarakat harus selalu skeptis dan membandingkan informasi dari berbagai media, terutama yang telah terverifikasi dan kredibel. - Evaluasi kredibilitas sumber
Masyarakat harus memeriksa kredibilitas sumber dari informasi yang didapatkan, seperti nama penulis, organisasi, dan afiliasi yang jelas. Berita hoaks seringkali disebarkan oleh akun anonim atau situs yang tidak terpercaya. - Hindari echo chambers
Penerimaan informasi berbeda dari pendapat pribadi akan mencegah terjadinya bias informasi. Jangan hanya mencari informasi yang sesuai dengan pandangan pribadi tanpa membuka ruang untuk berpikir kritis. - Tidak menyebarkan berita jika belum pasti kebenarannya
Jika masih ragu dengan keakuratan dan kebenaran suatu informasi, jangan langsung disebarkan ke orang lain. Semakin banyak disebarkan, semakin besar pula potensi berita hoaks tersebut menjadi viral dan merugikan publik.