10 Mei 2025 – Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok sejak 2018 telah menjadi salah satu isu global yang paling berdampak luas. Tak hanya mempengaruhi dua negara adidaya tersebut, ketegangan ini juga menimbulkan efek dominan ke berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Dari penurunan ekspor hingga ancaman terhadap industri manufaktur, Indonesia harus cermat membaca peta untuk bisa bertahan dan bahkan bangkit dari konflik ini.
Ketegangan Ekonomi Dua Negara Adidaya
Konflik dagang AS-China bermula dari protes Amerika terhadap defisit perdagangan mereka dengan China yang mencapai ratusan miliar dolar. Selain itu, AS menuduh Tiongkok melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, termasuk subsidi besar-besaran untuk industri dan pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Sebagai tanggapan, Presiden Donald Trump saat itu memberlakukan tarif tinggi terhadap produk asal Tiongkok. Pemerintah Tiongkok pun membalas dengan kebijakan serupa terhadap produk asal AS.
Perang tarif ini mengguncang rantai pasok global dan menciptakan ancaman di pasar internasional.
Indonesia Ikut Terseret
Dampaknya terhadap Indonesia cukup signifikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke China dan AS sempat menurun tajam, terutama di sektor pertambangan dan industri manufaktur. Banyak pelaku industri dalam negeri yang kesulitan mendapatkan bahan baku karena terganggunya pasokan global, sehingga menyebabkan biaya produksi.
Di sektor keuangan, Bank Indonesia mencatat arus keluar modal asing keluar sebesar lebih dari Rp11 triliun saat ketegangan dagang mencapai puncaknya. Hal ini berdampak langsung pada nilai tukar rupiah dan kestabilan pasar modal.
Peluang yang Muncul dari Krisis
Namun, di tengah tekanan itu, ada peluang yang muncul. Ketika produk China dibatasi masuk ke pasar AS, beberapa produk dari Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan produk elektronik justru meningkat ekspornya. Kementerian Perdagangan RI mencatat surplus perdagangan Indonesia dengan AS yang mencapai US$6,5 miliar.
Selain itu, banyak perusahaan global mulai mempertimbangkan relokasi pabrik dari Tiongkok ke kawasan Asia Tenggara. Indonesia mendapat limpahan minat, meski Vietnam masih menjadi favorit. Kementerian Investasi/BKPM melaporkan bahwa realisasi investasi asing naik sebesar 16,6% pada kuartal II 2024, didorong oleh minat di sektor industri pengolahan dan logistik.
Strategi yang Perlu Diambil
Untuk memanfaatkan peluang ini secara maksimal, Indonesia perlu mengambil langkah konkret:
1. Diversifikasi pasar ekspor ke wilayah non-tradisional seperti Afrika dan Timur Tengah.
2. Peningkatan hilirisasi industri, agar produk ekspor memiliki nilai tambah tinggi.
3. Penyederhanaan regulasi dan birokrasi bagi investor asing dan lokal.
4. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya di bidang teknologi dan manufaktur.
Bangkit dari Ketidaknyamanan
Perang dagang AS-China memang menimbulkan pemanasan global. Namun bagi Indonesia, situasi ini juga bisa menjadi momentum untuk memperkuat posisi dalam rantai nilai global. Dengan kebijakan yang tepat dan strategi jangka panjang, Indonesia dapat bertransformasi dari negara yang terdampak menjadi negara yang mengambil peran strategis di tengah dinamika geopolitik dunia.
Penulis : Devita Awalia Krisdianti