Fenomena budaya pamer atau flexing di era digital semakin marak, tidak hanya di kalangan masyarakat umum tetapi juga merambah ke ranah pemerintahan, memunculkan diskursus kritis mengenai implikasi etika, transparansi, dan akuntabilitas publik. Aksi pamer kekayaan atau gaya hidup mewah yang diperlihatkan oleh figur publik, termasuk pejabat pemerintah atau keluarganya, melalui platform media sosial, memicu berbagai persepsi di tengah masyarakat, khususnya terkait integritas dan kepercayaan publik.
Perilaku ini tidak hanya mengikis integritas dan etika, tetapi juga berpotensi menimbulkan aksi demonstrasi dan kerusuhan yang signifikan diakibatkan kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin mencolok di masyarakat. Kesenjangan antara gaya hidup mewah pejabat dan kondisi ekonomi masyarakat menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam, yang dapat memicu ketegangan sosial dan protes publik.
Di sisi lain, Mahfud MD mengingatkan bahwa meskipun flexing tidak selalu melanggar hukum, perilaku ini melanggar norma moral dan budaya bangsa. Dalam masyarakat yang sedang menghadapi kesenjangan ekonomi, pejabat yang memamerkan barang-barang mewah ibarat menuang garam ke luka rakyat.
Kesenjangan ini terbukti memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Sebuah riset oleh SMERU Research Institute menunjukkan bahwa semakin tinggi ketimpangan, semakin rendah pula kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah, pengadilan, hingga media.
Belajar dari kasus yang terjadi di Nepal baru-baru ini, terjadi aksi demonstrasi besar besaran yang dilakukan oleh anak-anak muda dan masyarakat sipil nepal sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah, semua berawal dari perilaku tidak etis yang dilakukan oleh pejabat publik dan keluarganya yang melakukan flexing , sehingga membuat masyarakat Nepal geram dan terjadilah krisis politik serta pengkudetaan Presiden Nepal.
Sama halnya yang terjadi di Indonesia, budaya flexing yang dilakukan pejabat publik kerap kali menimbulkan reaksi keras yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai pejabat publik dan figur masyarakat menjaga citra diri sangatlah penting karena era digital mempercepat semuanya. Foto pejabat dengan mobil mewah atau unggahan keluarga pejabat saat liburan ke luar negeri bisa langsung viral, dikomentari jutaan orang, dan dibandingkan dengan realitas rakyat yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, naiknya harga beras, maraknya PHK, sulitnya lapangan pekerjaan, dan ketimpangan ekonomi yang terjadi, masyarakat menjadi lebih sensitif dan merasa terlukai apabila pejabat memamerkan kemewahan.
Jika hal ini dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun, citra yang dibuat selama bertahun-tahun akan hancur begitu saja dan sangat sulit sekali untuk membangun kepercayaan masyarakat kembali, sehingga sangat rentan terjadinya konflik sosial. Maka, pejabat publik harus menyadari bahwa jabatan bukan hanya soal wewenang, tetapi juga soal etika.
Transparansi harta, kesederhanaan gaya hidup, dan kepekaan terhadap kondisi rakyat adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik. Pemerintah perlu memperketat verifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), memberikan sanksi pada pejabat yang tidak konsisten, serta menanamkan kode etik yang jelas untuk menghindari flexing berlebihan.
Terkadang masa lalu membuat kita mengingat hal-hal yang menyakitkan dan sering kali ingin membalas dendam terhadap orang-orang yang telah menghina dan merendahkan kita, namun yang perlu kita perhatikan dalam pelaksanaannya sikap rendah hati, berlapang dada dan peka terhadap sesama manusia akan membuat kita menyadari bahwa kesuksessan yang kita dapatkan hari ini merupakan hasil dari hinaan itu sendiri yang akhirnya membuat diri termotivasi.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”