Dalam sistem demokrasi Indonesia, pembatasan masa jabatan telah diberlakukan untuk kekuasaan eksekutif, seperti presiden dan kepala daerah, guna mencegah konsentrasi kekuasaan dan menjaga sirkulasi kepemimpinan. Namun, hal yang sama tidak berlaku bagi lembaga legislatif. Anggota DPR, DPD, maupun DPRD dapat mencalonkan diri dan menjabat selama berkali-kali, tanpa ada batasan maksimal periode. Ketimpangan ini memunculkan pertanyaan serius: apakah demokrasi Indonesia benar-benar menjamin regenerasi politik dan keterwakilan rakyat yang sehat?
Fakta menunjukkan bahwa wajah parlemen tidak banyak berubah dari pemilu ke pemilu. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kompas (April 2024), dari total 580 kursi DPR RI hasil Pemilu 2024, sebanyak 307 kursi kembali diisi oleh legislator petahana. Artinya, lebih dari separuh anggota DPR adalah wajah lama yang telah menjabat setidaknya satu periode sebelumnya. Fenomena ini menandakan mandeknya regenerasi politik dan menguatnya dominasi elite dalam sistem perwakilan kita.
Lebih jauh lagi, keberlanjutan kekuasaan oleh politisi yang sama memunculkan problem keterwakilan. Rakyat tidak lagi merasa bahwa mereka diwakili oleh parlemen yang merepresentasikan kepentingan publik, melainkan oleh politisi yang lebih loyal kepada partai, jaringan oligarki, atau kepentingan elektoral jangka pendek. Survei Litbang Kompas pada Februari 2023 mencatat bahwa lebih dari 76% masyarakat merasa tidak puas terhadap kinerja DPR, dan 84% menilai bahwa anggota legislatif lebih mewakili kepentingan partainya dibandingkan kepentingan rakyat. Angka ini merupakan alarm serius bagi legitimasi demokrasi representatif di Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, wacana pembatasan masa jabatan legislatif perlu dikedepankan secara sistematis. Gagasan pembatasan ini bukan sekadar soal teknis atau administratif, melainkan bagian dari upaya memperkuat prinsip kedaulatan rakyat dan akuntabilitas politik. Dengan membatasi masa jabatan legislatif menjadi maksimal dua periode, kita dapat mendorong munculnya regenerasi politik yang lebih terbuka, kompetitif, dan menjangkau lebih banyak kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.
Pembatasan ini juga relevan dengan semangat konstitusionalisme. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dibatasi hanya dua periode oleh UUD 1945 Pasal 7, demi menghindari potensi otoritarianisme. Maka menjadi tidak konsisten jika lembaga legislatif sebagai pemegang kekuasaan legislasi justru dibiarkan tanpa batas, padahal kekuasaan yang dimilikinya sangat besar: membuat undang-undang, mengontrol anggaran, dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Beberapa negara demokrasi bahkan telah lebih dulu menerapkan pembatasan jabatan untuk legislatif. Di Meksiko, misalnya, konstitusi membatasi anggota legislatif hanya dapat menjabat maksimal dua periode berturut-turut. Negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Filipina juga membatasi masa jabatan untuk mencegah stagnasi dan menjaga dinamika demokrasi. Indonesia bisa belajar dari pengalaman ini untuk mengembangkan sistem politik yang lebih sehat dan responsif.
Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi yang secara tegas mengatur pembatasan masa jabatan bagi anggota legislatif. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif untuk membentuk Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Masa Jabatan Anggota Legislatif. RUU ini dapat menetapkan batas maksimal dua periode bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Ini akan menjadi terobosan penting dalam memperkuat sistem demokrasi yang lebih adil dan regeneratif.
Pembentukan RUU ini juga harus disertai dengan penguatan mekanisme kaderisasi politik di internal partai. Pembatasan jabatan tidak akan efektif jika partai politik tetap tertutup dan hanya mengusung calon dari lingkaran elite yang sama. Maka, reformasi sistem politik harus berjalan paralel: membatasi masa jabatan, membuka ruang partisipasi yang lebih luas, serta mendorong transparansi dan demokratisasi internal partai.
Tentu saja, dalam penyusunan RUU ini akan ada perdebatan konstitusional, terutama terkait hak warga negara untuk dipilih dan memilih. Namun, seperti halnya pembatasan masa jabatan presiden yang telah diterima sebagai bagian dari prinsip checks and balances, pembatasan jabatan legislatif juga harus dilihat sebagai bentuk perlindungan terhadap kualitas demokrasi. Ini bukan soal membatasi hak, melainkan mencegah dominasi kekuasaan yang membusuk dari waktu ke waktu.
Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mampu menjamin bahwa kekuasaan tidak menjadi milik segelintir orang saja. Ketika lembaga legislatif tidak lagi merepresentasikan wajah rakyat, maka saatnya kita bertanya: untuk siapa sebenarnya parlemen bekerja? Pembentukan RUU Pembatasan Masa Jabatan Anggota Legislatif adalah langkah konstitusional dan progresif untuk menjawab pertanyaan itu dengan tegas—bahwa demokrasi bukan tempat menetap, melainkan tempat bergilir demi rakyat.