Kemajuan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Peserta didik saat ini tumbuh dengan gawai di tangan, akses internet yang cepat, serta berbagai platform pembelajaran digital seperti Google Classroom, Zoom, dan Learning Management System. Teknologi menawarkan kemudahan luar biasa: informasi dapat diperoleh dalam hitungan detik, proses belajar menjadi lebih interaktif, dan kreativitas semakin mudah dituangkan melalui media sosial, aplikasi desain, hingga kecerdasan buatan.
Dunia belajar terasa tanpa batas dan membuka ruang inovasi seluas-luasnya bagi generasi muda. Namun demikian, kemajuan teknologi tidak selamanya memberikan dampak positif. Di balik keunggulan digital tersebut, dunia pendidikan justru dihadapkan pada persoalan serius berupa krisis karakter di kalangan peserta didik. Fenomena seperti menurunnya empati, rendahnya kedisiplinan, serta melemahnya kemampuan komunikasi tatap muka semakin sering dijumpai dalam kehidupan sekolah.
Peserta didik kerap lebih sibuk dengan layar gawai dibandingkan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Thomas Lickona (1991) menyatakan bahwa krisis karakter ditandai oleh meningkatnya perilaku tidak hormat, kurangnya rasa tanggung jawab, serta hilangnya kepedulian sosial. Gejala tersebut kini mulai tampak dalam perilaku remaja di lingkungan pendidikan.
Krisis karakter juga dijelaskan oleh Sherry Turkle (2011) melalui penelitiannya yang berjudul Alone Together. Ia mengungkapkan bahwa remaja masa kini terlihat semakin terhubung melalui media digital, tetapi justru semakin terasing secara sosial dan emosional. Ketergantungan pada gawai membuat mereka kesulitan membaca ekspresi wajah, memahami perasaan orang lain, serta membangun komunikasi yang bermakna.
Kondisi tersebut berdampak pada melemahnya kualitas hubungan antarmanusia dan berkurangnya keterampilan sosial peserta didik. Tidak hanya itu, pengaruh negatif teknologi juga tampak dalam aspek akademik. Howard Gardner (2006) mengemukakan bahwa generasi digital cenderung terjebak dalam budaya instan, sehingga kemampuan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah jangka panjang menjadi kurang berkembang. Peserta didik lebih memilih jawaban cepat dari internet daripada melalui proses membaca, menganalisis, dan merefleksikan informasi.
Permasalahan lain yang turut mengemuka adalah gangguan kesehatan mental akibat penggunaan media sosial secara berlebihan. Jean Twenge (2017) menemukan bahwa kecanduan media sosial dapat meningkatkan risiko stres, kecemasan, dan depresi pada remaja. Budaya membandingkan diri dengan standar kehidupan digital membuat peserta didik merasa kurang percaya diri dan tertekan secara psikologis. Selain itu, kasus perundungan siber atau cyberbullying terus meningkat dan menimbulkan luka sosial yang berdampak panjang terhadap perkembangan karakter dan kesehatan mental.
Meskipun demikian, teknologi seharusnya tidak dipandang sebagai musuh dalam pendidikan karakter. Dengan pengelolaan yang tepat, teknologi justru dapat dimanfaatkan sebagai sarana penguatan nilai-nilai moral. Lickona (1991) menegaskan bahwa pembentukan karakter harus dilakukan melalui keteladanan, pembiasaan, dan penciptaan budaya sekolah yang positif. Dalam hal ini, guru dan orang tua memiliki peran penting sebagai pendamping yang membimbing peserta didik agar bijak dalam menggunakan teknologi serta menjunjung tinggi etika digital.
Beberapa sekolah telah membuktikan bahwa pendidikan karakter dapat berjalan seiring dengan pemanfaatan teknologi. Penelitian di SMP Negeri 1 Seyegan (2020) menunjukkan bahwa penerapan pendidikan karakter melalui pembiasaan harian, proyek kolaboratif, serta penguatan etika digital berpengaruh positif terhadap kedisiplinan dan sikap sosial siswa. Sementara itu, penelitian Benninga dkk. (1999–2002) di Amerika Serikat menemukan bahwa sekolah yang secara konsisten menerapkan pendidikan karakter memiliki prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan sekolah yang kurang menekankan pembentukan karakter.
Oleh karena itu, tantangan pendidikan di era digital bukanlah memilih antara teknologi atau karakter, melainkan bagaimana mengintegrasikan keduanya secara seimbang. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu memanfaatkan kemajuan teknologi tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya tumbuh menjadi individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan sosial.
Penulis:
Nazrey Salman Purwanto (251012400504)
Rianti (251012400070)
Wulan Yuliana Pratiwi (251012400081)
Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pamulang
Tahun Akademik 2025/2026
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”









































































