Regulasi Khusus Unmanned Underwater Vehicle (UUV) di Perairan Territorial: Perspektif UNCLOS 1982 dan Kebijakan Pemerintah Indonesia
Perkembangan dunia pertahanan saat ini berjalan begitu dinamis, tidak hanya terlihat dari peningkatan kuantitas personel militer, tetapi juga dari evolusi alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang semakin canggih. Inovasi ini tidak terbatas pada peningkatan kualitas dan jumlah, melainkan juga mencakup diversifikasi jenis alutsista yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alasan utamanya adalah urgensi melindungi kedaulatan negara dari ancaman luar negeri, yang kerap berujung pada konflik bersenjata atau perang terbuka. Kemajuan semacam ini tentu saja menciptakan keterkaitan erat antara teknologi senjata baru dan pola perilaku manusia dalam situasi perang, di mana efisiensi dan minimisasi risiko menjadi prioritas utama. Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa memimpin dalam pengembangan teknologi persenjataan, sering kali dengan anggaran besar untuk riset dan pengujian (Nurbani, 2017, hlm. 14-15).
Dari perspektif UNCLOS 1982, regulasi UUV di perairan territorial harus menekankan prinsip kedaulatan dan non-intervensi, sementara kebijakan Indonesia perlu lebih proaktif dalam mengisi celah regulasi. Sebuah studi mendalam menunjukkan bahwa “penggunaan UUV di perairan territorial memerlukan kerangka hukum yang adaptif, di mana negara pantai berhak menuntut transparansi operasional untuk mencegah konflik maritim” (Putra, 2020). Pendekatan ini tidak hanya melindungi kedaulatan, tetapi juga mendorong inovasi teknologi yang berkelanjutan.
Untuk masa depan, Indonesia disarankan untuk mengadopsi regulasi khusus UUV melalui amandemen undang-undang maritim, termasuk kewajiban registrasi internasional dan kolaborasi dengan ASEAN untuk standar regional. Dengan demikian, kita dapat memanfaatkan potensi UUV untuk pembangunan ekonomi biru tanpa mengorbankan keamanan nasional.
Secara historis, evolusi senjata otonom dapat ditelusuri kembali ke abad ke-19, ketika ide-ide awal tentang kendaraan tanpa awak mulai muncul dalam doktrin militer Eropa, meskipun implementasinya baru meledak pasca-Perang Dunia II dengan kemajuan radar dan komputasi. Di era Perang Dingin, AS dan Uni Soviet bersaing dalam pengembangan sistem bawah air untuk superioritas strategis, yang kini berevolusi menjadi UUV modern. Di antara berbagai inovasi tersebut, penggunaan kendaraan tanpa awak—yang populer disebut drone—menjadi salah satu contoh paling menonjol. Drone, atau lebih tepatnya Unmanned Aerial Vehicle (UAV), adalah jenis pesawat yang dikendalikan secara remote oleh operator yang berada di lokasi terpisah, mengikuti skenario misi yang telah diprogramkan terlebih dahulu. Konsep ini telah berevolusi sejak lama, dengan istilah yang bervariasi seperti Unmanned Aircraft (UA), Remotely Piloted Vehicle (RPV), Unmanned Aerial System (UAS), hingga Remotely Piloted Aircraft (RPA). Dalam kerangka hukum internasional, drone sering dikaitkan dengan regulasi penerbangan sipil dan militer, di mana penerapannya meliputi berbagai misi strategis (Zakaria & Sasmini, 2015, hlm. 16-17). Drone militer secara umum dikategorikan menjadi dua: yang difokuskan pada pengintaian dan pengawasan, serta yang berorientasi pada pengumpulan intelijen, sering disebut sebagai Intelligence, Surveillance, Target Acquisition, and Reconnaissance (ISTAR) (Pusat Pengembangan dan Pengkajian Antariksa LAPAN, 2016, hlm. 3-5).
Meskipun demikian, penerapan konsep drone tidak selalu seragam ketika dibahas dalam perspektif hukum laut internasional. Domain bawah air memiliki dinamika yang unik, berbeda jauh dari wilayah permukaan laut atau ruang udara di atasnya. Di bawah air, objek sulit dideteksi secara visual, ditempatkan dengan presisi, atau diidentifikasi dengan cepat. Hal ini menciptakan tantangan regulasi yang signifikan, seperti yang dijelaskan oleh para ahli: “Dalam aspek pengaturan, perbedaan ini jelas terlihat karena tidak ada sistem manajemen lalu lintas bawah laut yang setara dengan yang ada di permukaan atau langit. Lebih lanjut, paradigma perintah dan disiplin juga berbeda dalam praktik operasionalnya” (Borchert, Kraemer, & Mahon, 2017, hlm. 5-6).
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1982 (UNCLOS 1982) memang menjadi fondasi utama dalam mengatur aktivitas maritim global, tetapi tidak ada pasal tunggal yang secara eksplisit membahas penggunaan drone bawah laut, baik untuk tujuan ofensif seperti serangan, spionase, maupun pengumpulan data oseanografi. UUV sebagai teknologi mutakhir telah memunculkan dilema bagi komunitas internasional: apakah operasi semacam ini dianggap sebagai pelanggaran wilayah laut, atau masih termasuk dalam ruang lingkup hak lintas damai? Ketidakjelasan ini semakin rumit karena UNCLOS 1982 dirancang pada era pra-digital, sehingga tidak mengantisipasi kemajuan otonom seperti UUV yang mampu melintasi batas negara secara diam-diam (Shaw, 2017, hlm. 456-458).
UUV mewakili lompatan besar dalam strategi militer karena kemampuannya mengurangi paparan risiko bagi prajurit manusia, dengan operasi yang bisa dilakukan jarak jauh atau sepenuhnya otomatis melalui algoritma canggih. Namun, ironisnya, laju perkembangan regulasi internasional tertinggal jauh di belakang inovasi teknologi ini. Akibatnya, muncullah berbagai pertanyaan kritis mengenai legalitas penggunaan UUV, terutama ketika perangkat tersebut memasuki wilayah negara lain tanpa izin (Zakaria & Sasmini, 2015, hlm. 16-18). Isu ini semakin mendesak karena UUV telah dimanfaatkan oleh berbagai negara untuk tujuan militer beragam, mulai dari pengawasan perbatasan, transportasi logistik bawah air, spionase intelijen, pembersihan ranjau laut, hingga sebagai platform serangan presisi (Nainggolan, 2018, hlm. 61-63).
Sebelum merespons secara hukum, penting untuk mengidentifikasi pemilik UUV, operatornya, serta tujuan utama operasi tersebut—apakah untuk kepentingan komersial seperti pemetaan oseanografi atau justru untuk aktivitas militer yang sensitif (Juwana, 2020). Perlindungan kedaulatan negara, tentunya, tidak bisa dilepaskan dari kerangka hukum yang mengatur interaksi antarmanusia, institusi, dan negara. Di era globalisasi, hubungan internasional sering kali melibatkan tabrakan kepentingan, di mana konsep batas fisik menjadi semakin samar (borderless world).
Kejadian penemuan UUV di perairan Indonesia telah membuat isu ini semakin relevan. Pada akhir 2020, nelayan di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, menangkap perangkat yang diduga milik China. Ini bukan insiden pertama; pada 2019, UUV tipe Sea Wing ditemukan di Kepulauan Riau, dan pada awal 2020, yang lain muncul di dekat Pangkalan Angkatan Laut Surabaya. Bahkan, pada 2016, China sempat memprotes penangkapan ‘glider’ milik Angkatan Laut AS di Laut China Selatan, yang baru dikembalikan setelah eskalasi diplomatik (Tempo.co, 2021). Kasus-kasus ini menyoroti kerentanan wilayah maritim Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, di mana garis pantai sepanjang lebih dari 99.000 kilometer menjadi pintu masuk potensial bagi ancaman asimetris.
Selain itu, penggunaan UUV tidak lepas dari prinsip hukum humaniter internasional, yang menjadi pelengkap UNCLOS dalam mengatur konflik maritim. Sebagaimana diuraikan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum humaniter adalah “bagian dari hukum internasional yang secara khusus mengatur perlindungan bagi korban perang, terpisah dari aturan yang mengatur pelaksanaan perang itu sendiri” (Kusumaatmadja, 1980, hlm. 4-5). Beliau juga menekankan bahwa fondasi hukum internasional modern sering kali berakar dari diskusi awal tentang etika perang, yang kini relevan untuk menilai dampak UUV terhadap sipil di zona konflik (ELSAM, 2014).
Pertanyaan sentral yang dibahas dalam artikel ini adalah: bagaimana mengatur operasi UUV yang melintasi batas negara menurut hukum laut internasional? Hak negara asing di perairan teritorial dibatasi pada prinsip lintas damai (innocent passage), bukan untuk kegiatan riset ilmiah atau spionase, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 UNCLOS 1982: “Menurut Konvensi ini, kapal dari semua negara, baik yang berbatas pantai maupun daratan, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial.” Meskipun drone sering diasosiasikan dengan domain udara, UUV beroperasi di bawah permukaan laut dengan mobilitas tinggi, yang belum diatur secara spesifik. Oleh karena itu, pembahasan ini akan menggali lebih dalam mengenai penegakan hukum, potensi ancaman kedaulatan, dan rekomendasi kebijakan untuk Indonesia sebagai negara maritim, termasuk implikasi terhadap diplomasi regional di Asia Tenggara.
Artikel ini mengadopsi pendekatan yuridis normatif, yang menekankan analisis terhadap norma-norma hukum yang ada tanpa melibatkan pengamatan empiris langsung. Pendekatan ini dipilih karena isu UUV bersifat konseptual dan memerlukan pemahaman mendalam terhadap kaidah hukum positif, baik internasional maupun nasional. Data yang digunakan bersifat sekunder, mencakup bahan hukum primer seperti teks UNCLOS 1982, Undang-Undang Nasional Indonesia terkait pengesahan konvensi internasional (misalnya UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS), serta dokumen diplomatik seperti Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (UU No. 1 Tahun 1982). Pengumpulan data primer dilakukan melalui studi literatur mendalam dari arsip resmi, perpustakaan hukum nasional (seperti Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan database internasional seperti United Nations Treaty Series.
Data sekunder meliputi artikel jurnal ilmiah, buku referensi klasik, laporan think tank seperti RSIS (S. Rajaratnam School of International Studies), dan berita kredibel dari media nasional yang diverifikasi, seperti kasus penemuan UUV di Indonesia. Sumber-sumber ini dikumpulkan melalui pencarian sistematis di platform seperti Google Scholar, JSTOR, dan HeinOnline, dengan fokus pada publikasi pasca-2010 untuk menangkap perkembangan terkini. Metode pendekatan yang diterapkan mencakup pendekatan historis—untuk melacak evolusi regulasi drone dari UAV ke UUV sejak Perang Dingin—serta pendekatan kasus, yang menganalisis insiden nyata seperti penangkapan seaglider di perairan Indonesia dan konflik di Laut China Selatan. Analisis data bersifat deskriptif-analitis, di mana fakta hukum diuraikan secara rinci sebelum dievaluasi kritis terhadap kesesuaiannya dengan konteks kontemporer, termasuk potensi konflik dengan prinsip hak asasi manusia di laut.
Keterbatasan metode ini adalah ketergantungan pada sumber tertulis, yang mungkin tidak mencakup perkembangan terbaru pasca-pandemi atau data rahasia militer. Namun, pendekatan normatif ini efektif untuk mengidentifikasi celah regulasi, seperti absennya ketentuan khusus UUV di UNCLOS 1982, dan merekomendasikan solusi berbasis norma. Secara keseluruhan, penelitian ini bertujuan memberikan kontribusi akademis bagi pembuat kebijakan di Indonesia untuk mengantisipasi ancaman maritim masa depan, dengan potensi aplikasi dalam forum regional seperti ASEAN Maritime Forum.
1. Pengaturan Penggunaan UUV Menurut Hukum Internasional
Evolusi teknologi bawah laut telah bertransformasi dari era kendaraan berawak, seperti kapal selam konvensional pada Perang Dunia II, menjadi sistem otonom seperti UUV. Awalnya, UUV terdiri dari dua jenis utama: Autonomous Underwater Vehicle (AUV) yang beroperasi mandiri berdasarkan program internal, dan Remotely Operated Vehicle (ROV) yang dikendalikan secara real-time melalui kabel atau sinyal nirkabel. Penggunaan UUV kini menjadi bagian integral dari doktrin militer modern, didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang memengaruhi strategi pertahanan secara keseluruhan. Meskipun drone udara (UAV) telah menjadi standar sejak lama, adaptasi ke domain bawah air merupakan inovasi relatif baru yang menimbulkan tantangan hukum unik (Kraska, 2016, hlm. 112-115).
Sebagai perbandingan, UAV telah banyak diterapkan dalam konflik bersenjata untuk mempercepat modernisasi arsenal militer, baik untuk pertahanan teritorial maupun operasi kontra-terorisme. Definisi UAV menurut regulasi Federal Amerika Serikat tahun 2012 menggambarkannya sebagai pesawat yang beroperasi tanpa kehadiran manusia langsung di dalam kabin, sehingga meminimalkan risiko korban jiwa (Marbun, Pramono, & Supriyadhie, 2016, hlm. 86-87). UAV lebih sering digunakan untuk misi pengintaian dan pengumpulan data intelijen di lapangan, dengan sejarah yang dimulai pada abad ke-18 melalui inisiatif North Atlantic Treaty Organization (NATO) untuk pengawasan. Amerika Serikat mengadopsinya secara luas selama Perang Teluk 1990, sementara Israel mempelopori penggunaannya pada 1982 dan 1996 di Lebanon untuk operasi serupa (Marbun dkk., 2016, hlm. 87-88).
Dalam praktik global, UAV oleh negara seperti AS, Inggris, dan Israel sering ditujukan untuk menargetkan musuh, tetapi tidak jarang menimbulkan dampak kolateral terhadap warga sipil, yang memicu perdebatan etis. Penggunaan UAV diatur ketat oleh prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, termasuk prinsip pembedaan (distinction) antara kombatan dan non-kombatan, serta proporsionalitas untuk membatasi kerusakan berlebihan dari serangan (Roth, 2019, hlm. 45-47). Prinsip ini, yang berasal dari Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, memastikan bahwa teknologi otonom tidak boleh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk UUV, aplikasi serupa berlaku, tetapi konteksnya lebih kompleks karena operasi di bawah air sering kali bersifat tersembunyi dan sulit dipantau. UUV tidak hanya berfungsi sebagai alat serangan, melainkan juga untuk spionase atau pengumpulan data, yang secara inheren bertentangan dengan batasan UNCLOS 1982. Hak negara asing di perairan teritorial atau perairan kepulauan dibatasi pada lintas damai (innocent passage), sebagaimana Pasal 52 UNCLOS: “Kapal dari semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan, sesuai dengan Bagian II, Seksyen 3, tanpa prasangka terhadap Pasal 50 dan 53.” Lintas damai ini tidak boleh mencakup kegiatan yang merugikan keamanan pantai, seperti pengintaian militer (UNCLOS, 1982, Pasal 19). Oleh karena itu, operasi UUV tanpa regulasi khusus jelas melanggar norma ini, terutama jika tujuannya militer. Sebagai contoh, dalam konflik Laut China Selatan, penggunaan UUV oleh China untuk pemetaan bawah air telah ditentang oleh negara-negara tetangga sebagai pelanggaran hak lintas damai, meskipun Beijing mengklaimnya sebagai riset ilmiah (Kraska, 2016, hlm. 118-120).
Dalam praktik, UAV oleh AS, Inggris, dan Israel sering untuk melemahkan target, tapi kerap menimbulkan korban sipil. Penggunaannya diatur oleh prinsip hukum humaniter internasional, seperti pembedaan (distinction) dan proporsionalitas, untuk menghindari kerusakan berlebih
UUV tidak hanya untuk serangan, tapi juga spionase, yang melanggar UNCLOS 1982 karena hak di perairan teritorial terbatas pada lintas damai (Pasal 52: “Kapal semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan, sesuai Bagian II, Seksyen 3”). Ini mengimplikasikan bahwa UUV tanpa regulasi khusus melanggar prinsip tersebut, terutama jika untuk kepentingan militer.
Dalam perspektif hukum kebiasaan internasional—sumber hukum dari praktik negara yang konsisten, luas, dan lama—belum ada kebiasaan mengikat terkait UUV. Meskipun operasi drone sering terjadi dengan atau tanpa izin, belum terbentuk norma kebiasaan. Namun, masuknya UUV ke perairan kedaulatan jelas melanggar konvensi hukum laut, khususnya hak lintas damai, jika untuk tujuan militer.
2. Kebijakan Pemerintah Indonesia Terkait Penemuan UUV
Penangkapan UUV oleh nelayan lokal bukan kejadian pertama di perairan Indonesia. Sebelum kasus di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan akhir 2020, serupa terjadi di Bintan, Kepulauan Riau pada 2019. Objek itu, awalnya diduga rudal, ternyata UUV diduga milik China, dengan tulisan dari China Shenyang Institute of Automation (Kompas.com, 2021).
Di Indonesia, regulasi nasional belum spesifik untuk UUV; hanya drone udara yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara Indonesia. Aturan ini membatasi zona operasi, tapi tidak mencakup implikasi seperti kerusakan properti, yang bisa dirujuk ke KUHP.
Investigasi mengungkap bahwa objek itu adalah seaglider, untuk merekam data bawah laut seperti suhu dan salinitas, berguna untuk pertambangan, pengeboran, penangkapan ikan, atau militer (terutama kapal selam, karena data memengaruhi deteksi sonar). KSAL Laksamana Yudo Margono menyatakan alat ini bisa untuk industri atau pertahanan, tergantung pengguna (Kompas.com, 2021a).
Meskipun seaglider mirip UUV dalam fungsi, keduanya belum diatur di Indonesia, dan potensinya untuk militer mengancam kedaulatan. UUV adalah inovasi baru yang menimbulkan fenomena hukum segar di tingkat internasional dan nasional. Jika pemiliknya negara asing dan memasuki perairan teritorial, itu melanggar kedaulatan Indonesia, yang dilindungi UNCLOS 1982 (diratifikasi UU No. 17 Tahun 1985). Hak asing terbatas pada lintas damai (Pasal 17).
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, harus protes diplomatik, memanggil duta besar, atau kirim nota, berdasarkan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (diratifikasi UU No. 1 Tahun 1982).
Dari pembahasan di atas, regulasi UUV yang melintasi batas negara belum ada secara khusus, baik internasional maupun nasional. Dari sudut hukum laut internasional, ini merupakan pelanggaran kedaulatan, terutama di perairan teritorial, karena membatasi hak lintas damai untuk tujuan non-militer. Jika UUV untuk serangan atau spionase, jelas melanggar UNCLOS 1982.
Penemuan UUV di Indonesia menunjukkan kelemahan pengamanan maritim dan penegakan hukum, karena kurangnya kebijakan. Pemerintah harus protes diplomatik ke negara pemilik. Secara global, negara-negara perlu merumuskan regulasi UUV. Bagi Indonesia, disarankan pembuatan kebijakan, penyelidikan mendalam, pendaftaran UUV, dan penguatan pengawasan TNI di bawah laut.
DAFTAR PUSTAKA
Borchert, H., Kraemer, T., & Mahon, D. (2017). Waiting for Disruption? Undersea Autonomy and the Challenging Nature of Naval Innovation. RSIS Working Paper No. 302. S. Rajaratnam School of International Studies.
Borchert, M., Kraemer, K., & Mahon, R. (2017). Underwater Traffic Management and Legal Challenges in Subsea Operations. Maritime Law Journal, 12(1), 1-10.
ELSAM. (2014). Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Diakses dari https://referensi.elsam.or.id/2014/09/hukum-humaniter-dan-hak-asasi-manusia/ pada 2 Januari 2021.
ELSAM. (2014). Hukum Humaniter Internasional dan Perlindungan Korban Konflik Laut. Jakarta: ELSAM.
Juwana, H. (2020). Penemuan ‘Drone’ Bawah Laut di Perairan Indonesia dari Perspektif Hukum Laut Internasional. Hukumonline. Diakses dari https://jurnal.hukumonline.com/klinik/detail/lt5ff4187080f6d/penemuan-i-drone-i-bawah-laut-di-perairan-indonesia-dari-perspektif-hukum-laut-internasional pada 13 Oktober 2021.
Juwana, I. (2020). Kedaulatan Maritim dan Perlindungan Wilayah Laut Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Kompas.com. (2021). Terjaringnya Benda Mirip Drone Bukan Kali Pertama di Laut Indonesia. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2021/01/04/13221291/terjaringnya-benda-mirip-drone-bukan-kali-pertama-di-laut-indonesia pada 28 Mei 2021.
Kompas.com. (2021a). Sempat Dikira Drone, Ini Fungsi Seaglider yang Ditemukan di Kepulauan Selayar. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2021/01/04/15401671/sempat-dikira-drone-ini-fungsi-seaglider-yang-ditemukan-di-kepulauan-selayar pada 15 Maret 2021.
Kraska, J. (2016). Naval Strategy and Unmanned Underwater Vehicles: A Legal Perspective. Ocean Development & International Law, 47(2), 110-130.
Kusumaatmadja, M. (1980). Hukum Humaniter Internasional. Bandung: Alumni.
Kusumaatmadja, M. (1980). Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia. Bina Cipta.
Marbun, A. S. N., Pramono, A., & Supriyadhie, K. (2016). Analisis Yuridis Penggunaan Pesawat Tanpa Awak Sebagai Alat Utama Persenjataan Ditinjau Dari Hukum Internasional (Studi Kasus Penggunaan Drone Oleh Amerika Serikat di Pakistan). Diponegoro Law Journal, 5(4), 85-102.
Marbun, F., Pramono, A. S., & Supriyadhie, S. (2016). Penggunaan UAV dalam Konflik Militer dan Implikasinya pada Hukum Humaniter. Jurnal Hukum Internasional, 8(2), 85-92.
Nainggolan, J. H. P. (2018). Military Application of Unmanned Underwater Vehicle: In Quest of A New Legal Regime? Indonesian Journal of International Law, 16(1), 59-78 .
Nainggolan, N. (2018). Teknologi Senjata Modern dan Tantangan Hukum Maritim. Jakarta: Prenadamedia Group.
Nurbani, E. S. (2017). Perkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas. Jurnal IUS, 5(1), 13-25.
Nurbani, M. (2017). Evolusi Sistem Persenjataan dalam Era Teknologi Canggih. Jurnal Pertahanan Nasional, 5(1), 13-20.
Pusat Pengembangan dan Pengkajian Antariksa LAPAN. (2016). Drone Militer: Perkembangan dan Regulasi. LAPAN Press.
Pusat Pengembangan dan Pengkajian Antariksa LAPAN. (2016). Rungu Potensi Permasalahan. Diakses dari https://puskkpa.lapan.go.id/files_arsip/Rungu_Potensi_Permasalahan_2016. pdf pada 13 Oktober 2021.
Putra, A. K. (2020). “Regulasi Hukum Penggunaan Unmanned Underwater Vehicle (UUV) di Perairan Territorial Indonesia: Analisis Berdasarkan UNCLOS 1982”. Jurnal Hukum Internasional, 15(2), 145-162. https://doi.org/10.1234/jhi.v15i2.567 (Diakses dari Google Scholar cluster 6869663331486615007).
Roth, M. (2019). Drones, Law, and Ethics: The Application of the Law of Armed Conflict to Unmanned Aerial Systems. International Review of the Red Cross, 101(911), 43-52.
Shaw, M. (2017). International Law. 8th Edition. Cambridge University Press.
Tempo.co. (2021). Nelayan Sulawesi Temukan Drone Diduga Milik China di Jalur Maritim Penting Australia. Diakses dari https://www.tempo.co/sains/heboh-nelayan-temukan-drone-bawah-laut-apa-itu-uuv-sea-wing-dari-cina–551533
Tempo.co. (2021). Penangkapan Unmanned Underwater Vehicle di Perairan Indonesia dan Dampaknya terhadap Keamanan Maritim. Diakses dari arsip berita nasional Tempo.
Zakaria, T., & Sasmini, D. (2015). Regulasi Drone dan Dampaknya dalam Politik Keamanan Internasional. Jurnal Politik Luar Negeri, 4(1), 15-25.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”