Kampus semestinya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk tumbuh, belajar, dan menemukan jati diri. Namun, kenyataan di lapangan tak selalu demikian. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh kabar meninggalnya Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) Bali, yang diduga mengakhiri hidupnya akibat perundungan (bullying) yang dialaminya di lingkungan kampus.
Kasus tragis ini menjadi pukulan keras bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Bagaimana mungkin tempat yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa justru menjadi ruang yang menekan, bahkan mengancam nyawa? Tragedi Timothy bukanlah sekadar kisah pribadi seorang mahasiswa yang “tidak kuat menghadapi tekanan,” tetapi cerminan dari gagalnya ekosistem kampus dalam melindungi kesehatan mental mahasiswanya.
Tidak jarang Kesehatan mental diabaikan karena “tidak terlihat”. Padahal yang sebenarnya jika ditinjau Kembali, luka batin lebih dalam dan lebih berpengaruh pada kehidupan daripada luka fisik. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi, sementara kalangan muda menjadi kelompok paling rentan. Di lingkungan kampus, tekanan akademik, persaingan, serta budaya senioritas kerap menjadi pemicu stres berkepanjangan.
Dalam kasus Timothy, muncul dugaan bahwa korban menjadi sasaran ejekan dan perundungan di grup percakapan daring. Meski pihak kampus telah menegaskan akan menindaklanjuti, peristiwa ini membuka mata kita bahwa bullying bukan sekadar candaan antarteman, melainkan bentuk kekerasan psikologis yang bisa berujung fatal.
Lebih memprihatinkan lagi, kasus serupa bukan kali ini saja terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah mahasiswa di berbagai daerah juga dikabarkan mengakhiri hidupnya akibat tekanan lingkungan dan beban akademik. Artinya, persoalan ini bukan kasus tunggal, melainkan gejala sistemik yang membutuhkan perhatian serius dari seluruh pihak.
Budaya dan Sistem Kampus yang Perlu Ditinjau Kembali
Masih banyak kampus yang belum memiliki sistem perlindungan kesehatan mental yang jelas. Layanan konseling sering kali hanya formalitas, sementara aksesnya sulit dijangkau mahasiswa. Di sisi lain, budaya senioritas yang keras, bahkan kekerasan yang dibungkus dalam dalih “penempaan karakter,” masih ditemukan di sejumlah lembaga pendidikan tinggi.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi, setiap kampus wajib menciptakan lingkungan yang aman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, regulasi tanpa implementasi hanyalah tulisan di atas kertas.
Kampus seharusnya menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mengejar karirnya. Dosen, tenaga pendidik, hingga organisasi mahasiswa harus menumbuhkan empati, saling menghargai, dan menciptakan ruang dialog yang sehat. Pendidikan tinggi bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga tempat belajar menjadi manusia yang utuh.
Saatnya Bergerak Bersama
Kesehatan mental tidak bisa lagi dianggap isu pribadi. Ia adalah persoalan sosial dan kelembagaan. Mahasiswa yang merasa tertekan perlu mendapat ruang aman untuk bercerita tanpa takut dihakimi. Kampus perlu menyediakan psikolog profesional dan layanan darurat yang mudah diakses. Sementara itu, mahasiswa lain harus belajar menjadi pendengar yang baik—bukan penilai yang menghakimi.
Kasus Timothy mengingatkan kita bahwa setiap ejekan, candaan, atau komentar di media sosial dapat berdampak besar bagi seseorang. Di era digital seperti sekarang, perundungan tidak lagi terbatas pada ruang fisik. Ia bisa menembus layar ponsel dan merusak mental seseorang tanpa disadari.
Membangun Ruang Aman Bersama
Tragedi di Universitas Udayana adalah peringatan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Jangan sampai kampus, tempat yang seharusnya melahirkan generasi cerdas dan berdaya, justru menjadi ruang yang melahirkan trauma dan kehilangan.
Menjaga kesehatan mental mahasiswa bukan tanggung jawab satu pihak. Ia adalah tugas bersama—kampus, keluarga, teman, media, dan masyarakat. Karena sejatinya, tidak ada prestasi akademik yang sepadan dengan nyawa manusia.
Kita semua harus berani berkata: tidak ada ruang bagi bullying di kampus.
Hanya dengan menciptakan ruang yang aman dan penuh empati, pendidikan bisa benar-benar menjadi jalan menuju kemanusiaan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




























































