Dunia politik seringkali dianggap sebagai arena yang “kotor” dan penuh intrik. Persepsi ini cukup kuat di kalangan masyarakat pesantren, bahkan sebagian santri secara tegas memilih menjauh dari politik. Mereka merasa lebih nyaman mengabdi di lingkungan masjid, pesantren, dan majelis taklim. Namun, dalam konteks demokrasi Indonesia, jika ruang kekuasaan tidak diisi oleh orang-orang yang berakhlak dan berilmu, maka siapa yang akan mengisi? Apakah santri akan rela jika politik terus dikuasai oleh mereka yang tak membawa amanah?
Guru kami KH. Ahmad Junaidi Hidayat sering mengingatkan bahwa “menjaga agama itu bukan hanya sekadar mengajarkan ilmu agama, tetapi juga dengan masuk ke dalam pemerintahan, mengabdi, dan memastikan nilai-nilai kebaikan tidak diabaikan.” Pesan ini menjadi panggilan moral bagi para santri untuk tidak alergi terhadap politik.
Santri sesungguhnya memiliki modal sosial yang kuat untuk terjun ke dunia politik. Menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur), santri bukan hanya pewaris tradisi keilmuan, tetapi juga bagian dari masyarakat yang memiliki akses luas melalui jaringan pesantren dan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama. Buku “Islam, State, and Society in Indonesia” oleh Robert W. Hefner juga menegaskan bahwa pesantren memiliki peran strategis dalam membentuk basis moral dan etika publik di Indonesia. Dengan modal kepercayaan masyarakat yang tinggi, santri berpotensi besar untuk menjadi aktor politik yang membawa misi perubahan.
Politik adalah salah satu jalan efektif untuk menegakkan keadilan sosial. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah, sebagaimana hadis Nabi: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari-Muslim). Jika para santri menghindari politik, maka kekuasaan akan terus berada di tangan mereka yang tidak mengindahkan nilai-nilai agama dan keadilan.
Dalam catatan sejarah, banyak santri yang telah menjadi politisi hebat di Indonesia. Di antaranya Gus Dur, yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia dan tokoh pluralisme yang gigih membela hak-hak rakyat kecil. Ada juga KH. Ma’ruf Amin yang pernah menjadi Wakil Presiden Indonesia, KH. Wahab Hasbullah yang turut membentuk fondasi perjuangan kebangsaan melalui keterlibatan aktif di parlemen dan pemerintahan.
Survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) tahun 2019 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tokoh agama lebih tinggi dibandingkan dengan politisi. Ini membuktikan bahwa santri yang memiliki basis keagamaan kuat, secara sosial memiliki peluang besar untuk mendapatkan kepercayaan publik.
Selain itu, partai politik di Indonesia mayoritas bersifat nasionalis dan agamis. Artinya, banyak pilihan partai yang bisa menjadi kendaraan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam yang cinta tanah air dan meneguhkan keadilan sosial. Di zaman sekarang, seperti yang pernah dikatakan oleh Anies Baswedan, “Bangsa ini tidak pernah kekurangan orang pintar, tetapi bangsa ini kehilangan orang-orang yang amanah.” Sebab, kekayaan terbesar suatu bangsa bukan hanya sumber daya alamnya, melainkan sumber daya manusianya. Maka, santri yang telah digembleng di pesantren dengan adab, ilmu, dan kejujuran menjadi harapan besar untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa ini.
Meski memiliki peluang besar, santri tidak luput dari tantangan ketika masuk ke arena politik. Godaan pragmatisme politik bisa menjerumuskan pada kompromi nilai. Tekanan partai politik kadang memaksa santri untuk mengikuti arus tanpa bisa mempertahankan idealisme. Santri juga seringkali belum memiliki bekal sistematis tentang bagaimana politik praktis berjalan. Seperti diulas dalam buku “Islam and Democracy in Indonesia” oleh Azyumardi Azra, santri masih harus banyak belajar tentang birokrasi dan manajemen kekuasaan agar tidak mudah dimanfaatkan oleh elit politik.
Ada pula tantangan psikologis, sebagian santri masih membawa mindset bahwa politik itu kotor. Padahal, politik adalah alat, tergantung siapa yang memegang dan bagaimana menggunakannya. Jika digunakan oleh orang baik, maka politik akan menjadi jalan kebaikan.
Untuk menyiapkan santri yang matang secara politik, dibutuhkan pendidikan politik sejak di pesantren. Pendidikan ini tidak harus berupa materi formal, tetapi bisa dikemas dalam kegiatan diskusi, kajian kitab yang beririsan dengan kepemimpinan, serta pelatihan manajemen organisasi.
Pesantren yang baik, seperti yang sering disebut oleh Abah Yai KH. Ahmad Junaidi Hidayat, adalah “madrasah kehidupan”. Dalam pesantren, santri dibiasakan menghadapi lingkungan yang kompleks, mulai dari hidup berjamaah, mandiri, saling menghormati, berorganisasi, bahkan belajar menyelesaikan konflik sehari-hari. Semua itu adalah bekal berharga yang kelak sangat berguna dalam menghadapi kompleksitas dunia pemerintahan dan birokrasi. Pesantren bukan hanya tempat menghafal kitab, tetapi juga tempat belajar menjadi manusia seutuhnya.
Kita juga butuh lebih banyak role model seperti Gus Dur yang bisa menunjukkan bahwa menjadi santri tidak berarti harus menjauh dari politik. Justru dengan terlibat secara aktif, santri bisa mengisi ruang-ruang pengambilan keputusan dengan nilai kejujuran, keberpihakan pada rakyat kecil, dan integritas. Sebagaimana kata bijak yang sering disampaikan “Politik itu kotor bukan karena substansinya, melainkan karena orang-orang baik memilih untuk tidak terlibat.”
Sudah saatnya santri berhenti menjadi penonton di panggung politik. Jika bukan santri yang terjun, jangan heran jika kebijakan yang lahir semakin jauh dari nilai-nilai yang membela umat dan bangsa. Santri harus menjadi pelaku yang mempengaruhi arah politik, bukan sekadar penggembira yang hanya menunggu hasil.
Santri adalah harapan masa depan bangsa. Dengan bekal ilmu, adab, dan pengalaman hidup di pesantren, santri diharapkan menjadi pemimpin yang amanah dan membawa bangsa ini menuju arah yang lebih baik.