Di era digital ini, setiap orang memiliki panggung. Melalui media sosial, siapa pun dapat menyuarakan opini, dari yang paling masuk akal sampai yang paling kontroversial. Namun di balik kebebasan berekspresi ini, ada bahaya yang mengintai yakni polarisasi sosial yang semakin menguat. Dunia maya berubah jadi medan perang opini, bukan menjadi ruang diskusi.
Fenomena “cancel culture” menjadi contoh nyata bagaimana perbedaan pandangan dapat berujung pada perpecahan. Seseorang mengunggah opini pribadi tentang gaya hidup, cara berpakaian, atau nilai moral tertentu, lalu tiba-tiba diserang habis-hadapatn oleh warganet. Tak jarang, mereka bukan hanya dikritik, tapi juga diboikot, dihujat, bahkan kehilangan pekerjaan atau dukungan publik. Yang lebih mengkhawatirkan, serangan itu bukan hanya karena kesalahan besar, tapi kadang hanya karena perbedaan pandangan yang seharusnya dapat ditoleransi.
Adanya media sosial memperburuk situasi tersebut. Algoritma cenderung menunjukkan konten yang kita sukai, membuat kita hanya melihat dunia dari sudut pandang yang sempit. Kita merasa didukung, merasa benar, dan menganggap pandangan berbeda sebagai ancaman. Ketika orang lain berpikir atau hidup berbeda, mereka tidak lagi dianggap “berbeda”, tapi “salah”. Polarisasi pun tak terhindarkan.
Polarisasi ini bukan hanya soal politik. Di TikTok dan X, kita dapat melihat bagaimana masyarakat terpecah dalam dua kubu soal cara berpakaian, kebebasan berekspresi, atau nilai-nilai budaya. Di satu sisi, ada yang menjunjung tinggi kebebasan dan menganggap setiap orang berhak mengekspresikan dirinya. Di sisi lain, ada yang merasa nilai-nilai moral dan budaya lokal harus dijaga dan dihormati. Masalahnya, kedua sisi seringkali tidak mau saling mendengar, sehingga terjadi bukan dialog, tapi saling serang.
Padahal, Indonesia dibangun di atas semangat keberagaman. Pancasila sendiri mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan dan menyelesaikan masalah dengan musyawarah. Polarisasi sosial, jika dibiarkan dapat merusak integrasi nasional. Ketika masyarakat terus-menerus bertengkar tentang siapa yang paling benar, rasa kebersamaan sebagai bangsa perlahan memudar. Kita mulai lebih peduli pada kelompok kita sendiri dan lupa bahwa kita bagian dari satu negara yang sama.
Di tengah situasi ini, penting bagi kita untuk mempraktikkan toleransi digital. Kebebasan berpendapat harus diiringi dengan kesadaran bahwa orang lain pun punya hak yang sama. Tidak semua hal harus disetujui, tapi semua orang berhak untuk dihargai. Perbedaan pandangan bukan alasan untuk memecah belah, tapi peluang untuk saling memahami. Solusi dari polarisasi sosial ini bukan membungkam opini, tapi membangun budaya diskusi. Kita perlu belajar untuk tidak reaktif, untuk bertanya sebelum menghakimi, dan untuk membedakan kritik dengan serangan pribadi. Di sisi lain, saat menyuarakan pendapat, kita juga harus siap menerima tanggapan, bahkan yang berbeda dari kita.
Integrasi nasional tidak hanya dibangun lewat kebijakan pemerintah atau kampanye persatuan, tetapi juga lewat sikap kita sehari-hari di media sosial. Saat kita memilih untuk tidak menghakimi, untuk memberi ruang pada yang berbeda, dan untuk berdialog dengan terbuka, di situlah Indonesia menjadi lebih kuat dan sejahtera.
Di tengah gempuran opini yang tak ada habisnya, kita perlu kembali bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin membangun bangsa yang saling memahami, atau bangsa yang saling menjatuhkan hanya karena opini pribadi?