Sumber: Muda Bicara di Instagram
Tagar #KaburAjaDulu sempat viral di berbagai platform media sosial sebagai bentuk ekspresi frustasi terhadap kondisi pendidikan di tanah air. Bersamaan dengan itu, ribuan mahasiswa turun ke jalan membawa tagar #IndonesiaGelap atau “Dark Indonesia”, menolak kebijakan pemangkasan anggaran pendidikan yang mereka nilai semakin menjauhkan mereka dari masa depan yang layak. Lalu, sebenarnya ada apa dengan kebijakan pendidikan kita?
Viralnya tagar #KaburAjaDulu menjadi sikap nyata keresahan generasi muda Indonesia. Tagar ini menyuarakan keinginan untuk mencari alternatif pendidikan terutama ke luar negeri karena sistem dalam negeri dinilai semakin tidak kondusif. Frasa “kabur aja dulu” bukan hanya lelucon internet, tapi menjadi representasi krisis dan sindiran atas kepercayaan terhadap masa depan pendidikan dan stabilitas sosial nasional.
Tak hanya di platform media sosial, keresahan ini terwujud dalam aksi nyata. Ribuan mahasiswa dari berbagai kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Medan, hingga Nusa Tenggara melakukan aksi protes besar-besaran atau demo dengan membawa narasi #IndonesiaGelap. Aksi ini bukan sekadar perlawanan terhadap pemangkasan anggaran, tetapi juga kritik terhadap minimnya keberpihakan kebijakan pendidikan terhadap generasi muda.
Demonstrasi besar-besaran ini menyoroti pemotongan signifikan dalam anggaran pendidikan tinggi, termasuk dana BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri), beasiswa KIP-K, serta tunjangan dosen. Menurut laporan dari berbagai sumber seperti Kompasiana, Kompas.id, dan Intellinews, pemotongan ini secara langsung berdampak pada meningkatnya biaya kuliah, memburuknya layanan akademik, dan terbatasnya akses bagi mahasiswa dari kelompok ekonomi rentan.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemotongan dilakukan demi efisiensi fiskal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa efisiensi tersebut belum menyentuh inti masalah, yaitu bagaimana menjadikan pendidikan lebih inklusif, terjangkau, dan relevan. Justru, pemangkasan ini berpotensi menciptakan ketimpangan baru, memperkuat eksklusivitas pendidikan tinggi, dan memperbesar peluang terjadinya “brain drain”.
Menurut Investopedia, Brain drain mengacu pada emigrasi (perpindahan ke luar negeri) individu-individu yang sangat terampil dan berpendidikan tinggi dari satu tempat ke tempat lain, dengan tujuan mencari peluang yang lebih baik, gaji yang lebih tinggi, dan standar hidup yang lebih baik.
Masalah ini tak hanya menjadi perbincangan domestik, tetapi juga diliput oleh media internasional seperti Reuters, Financial Times, dan University World News. Mereka melaporkan keresahan sosial yang dipicu oleh kebijakan pendidikan Presiden terpilih, termasuk pemotongan anggaran yang dianggap terlalu drastis.
Liputan luas dari media nasional seperti Kompas, Tirto, dan Kompasiana, hingga media asing menunjukkan bahwa ini bukan isu biasa, melainkan isu publik yang serius dan sistemik, yang menyentuh langsung masa depan SDM Indonesia.
Generasi muda, khususnya mahasiswa dan calon mahasiswa, adalah pihak yang paling terdampak dari kebijakan ini. Dengan naiknya biaya kuliah, terbatasnya beasiswa, serta fasilitas akademik yang menurun, banyak yang mulai mempertanyakan apakah pendidikan tinggi masih merupakan jalan terbaik untuk meraih masa depan. Sebagian mulai beralih ke pendidikan informal, program luar negeri, atau bahkan memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan sama sekali.
Lebih jauh, fenomena ini menciptakan iklim sosial yang pesimistis. Ketika pendidikan tak lagi mampu memberikan harapan, maka lahirlah narasi seperti #KaburAjaDulu, sebuah simbol bahwa generasi muda mulai kehilangan keyakinan terhadap sistem yang seharusnya mendukung mereka.
Isu pemangkasan anggaran pendidikan dan mahalnya biaya kuliah bukan sekadar masalah anggaran, tetapi krisis kepercayaan terhadap arah kebijakan negara. Efisiensi keuangan memang penting, namun harus dibarengi dengan prinsip keberpihakan, transparansi, dan jaminan mutu.
Jika pemerintah ingin memulihkan kepercayaan generasi muda, maka perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap cara anggaran pendidikan dikelola. Pendidikan tidak boleh menjadi beban atau komoditas, tetapi harus tetap menjadi jembatan ke masa depan yang lebih baik. Dan sebelum #KaburAjaDulu benar-benar menjadi keputusan kolektif, negara harus hadir, bukan hanya dalam angka, tapi dalam keberpihakan nyata pada masa depan anak bangsa