Teater di sekolah seharusnya menjadi ruang bagi siswa untuk memahami kehidupan melalui seni. Namun, dalam praktiknya, seni peran ini sering kali dianggap sekadar hiburan atau pelengkap kegiatan sekolah. Fokus pendidikan Indonesia yang masih sangat akademik dan berorientasi nilai membuat teater kehilangan tempatnya. Padahal, di tengah gempuran sistem pendidikan yang cenderung mekanistik, teater justru menawarkan proses pembelajaran yang menyentuh sisi kemanusiaan siswa.
Melalui teater, siswa belajar tentang karakter—bukan hanya karakter tokoh yang diperankan, tetapi juga karakter diri sendiri. Mereka dipaksa untuk keluar dari zona nyaman, memahami motivasi, konflik batin, dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam naskah. Dalam prosesnya, siswa belajar berpikir kritis terhadap perilaku manusia dan realitas sosial di sekitarnya. Inilah esensi pendidikan sejati yang sering luput dari perhatian: membentuk manusia yang sadar, bukan sekadar pandai.Ironisnya, banyak sekolah di Indonesia justru memperlakukan teater sebagai kegiatan sampingan.

Program teater sering kali hanya muncul menjelang lomba atau acara perpisahan. Setelah itu, latihan dihentikan, dan semangat berteater pun menguap. Pandangan ini mencerminkan betapa sempitnya pemahaman kita tentang fungsi pendidikan seni. Kita lebih menghargai angka di rapor daripada pengalaman emosional dan sosial yang dibangun di atas panggung.Lebih parah lagi, infrastruktur dan dukungan terhadap kegiatan teater di sekolah sangat minim. Banyak kelompok teater sekolah harus berlatih di aula yang bising, tanpa kostum layak, atau bahkan tanpa bimbingan pelatih yang kompeten. Guru seni yang menjadi pembina pun sering kali tidak memiliki latar belakang teater. Mereka bekerja dengan niat baik, tetapi terhambat oleh keterbatasan sistem yang tidak menempatkan seni sebagai prioritas pendidikan.
Kondisi ini memperlihatkan betapa sistem pendidikan Indonesia masih terjebak dalam paradigma lama: bahwa kesuksesan diukur dari ujian, bukan dari kemampuan memahami dan mengekspresikan diri. Padahal, kemampuan berempati, berkomunikasi, dan memahami manusia—yang diasah lewat teater—merupakan kompetensi abad ke-21 yang tidak kalah penting dari literasi dan numerasi. Kita sedang mendidik generasi yang cerdas berpikir, tetapi kering dalam rasa.Dalam teater, penjiwaan menjadi proses yang penting dan mendalam. Seorang siswa yang memerankan tokoh harus memahami latar belakang, konflik, dan perasaan karakter tersebut. Ia belajar menempatkan diri pada posisi orang lain—sebuah latihan empati yang sangat relevan dalam masyarakat yang semakin individualistik. Sayangnya, latihan penjiwaan ini jarang dihargai dalam sistem pendidikan kita yang menuntut hasil cepat dan terukur.Pendidikan di Indonesia terlalu menekan siswa untuk berkompetisi, bukan berkolaborasi. Sementara di dunia teater, keberhasilan sebuah pertunjukan hanya bisa dicapai lewat kerja sama dan saling pengertian antar anggota tim. Di panggung, tidak ada ruang bagi ego. Semua pemain harus berkoordinasi agar cerita hidup dan pesan sampai ke penonton. Nilai-nilai seperti inilah yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan nasional, bukan sekadar target akademik.
Jika pemerintah dan sekolah mau serius mengembangkan teater, dampaknya bisa sangat besar. Teater bisa dijadikan media pembelajaran interdisipliner—menggabungkan sastra, sejarah, sosiologi, hingga psikologi. Ia bisa menjadi alat refleksi bagi siswa untuk memahami kondisi sosial masyarakatnya. Melalui teater, siswa dapat belajar mengkritisi realitas, bukan sekadar menghafal fakta. Di sinilah peran guru dan kebijakan sekolah menjadi krusial.Sudah waktunya dunia pendidikan di Indonesia berhenti memandang teater sebagai kegiatan “tambahan”. Teater adalah cermin kehidupan dan wahana pembentukan karakter yang sesungguhnya. Ketika siswa diajak menjiwai peran, memahami tokoh, dan menghayati kehidupan dari perspektif lain, mereka sedang belajar menjadi manusia. Pendidikan tanpa ruang bagi seni hanyalah mesin pencetak angka, bukan manusia berjiwa. Jika kita ingin generasi yang berkarakter, maka panggung teater di sekolah harus kembali menyala.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”