Bayangkan ini: seseorang sedang mengalami kegagalan, kehilangan, atau hari yang sangat berat. Namun alih-alih mendapat ruang untuk mengekspresikan perasaannya, ia justru mendengar, “Kamu harus tetap positif,” atau “Ayo semangat, jangan sedih terus.” Niatnya baik, tapi respons semacam ini justru bisa membuat luka mental semakin dalam. Inilah yang disebut toxic positivity.
Optimisme Berlebihan dan Penyangkalan Emosi
Menurut UNJANI (2024), toxic positivity adalah bentuk dorongan untuk terus berpikir positif secara berlebihan, hingga akhirnya menolak, mengabaikan, atau menekan emosi negatif yang valid. Meski tampak menyemangati, kalimat-kalimat motivasi bisa berubah menjadi beban ketika seseorang tidak diberi ruang untuk jujur tentang rasa kecewa, sedih, atau marah.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa di tengah budaya “good vibes only,” banyak orang terjebak dalam tuntutan untuk selalu terlihat bahagia. Padahal menurut Psikologi UMA, emosi negatif seperti kesedihan, frustrasi, dan kemarahan adalah bagian normal dari pengalaman manusia dan justru penting untuk kesehatan mental jangka panjang.
Media Sosial dan Ilusi Bahagia
Di era media sosial, toxic positivity semakin marak. Platform seperti Instagram atau TikTok dipenuhi unggahan penuh semangat, quotes inspiratif, hingga pencitraan kehidupan yang seolah tanpa masalah. Hal ini menimbulkan tekanan tidak langsung agar setiap orang harus selalu tampil bahagia.
Halodoc (2024) menyebut bahwa hal ini bisa membuat seseorang merasa bersalah saat mengalami emosi negatif. Mereka jadi berpikir, “Aku harusnya bersyukur,” atau “Aku lemah karena merasa seperti ini.” Akhirnya, mereka menyembunyikan perasaan asli dan memaksakan senyum demi terlihat baik-baik saja.
Ketidakjujuran Emosional dan Dampaknya
Tekanan untuk selalu positif dapat menimbulkan kelelahan mental, burnout, bahkan isolasi emosional. Ketika seseorang tidak merasa bebas untuk mengekspresikan kesedihannya, mereka bisa kehilangan koneksi autentik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
Menurut ahli psikologi, bentuk dukungan yang sehat bukanlah menyuruh orang untuk melupakan rasa sakitnya, tetapi mengakui dan memvalidasi perasaannya terlebih dahulu. Kalimat sederhana seperti “nggak apa-apa kalau kamu belum baik-baik saja” bisa jauh lebih menyembuhkan dibanding “ayo tetap semangat.”
Kesimpulan
Toxic positivity mengajarkan bahwa hanya emosi positif yang boleh dirasakan, dan itu adalah pandangan yang keliru. Dalam kehidupan nyata, semua emosi memiliki tempatnya. Menerima kesedihan bukan berarti lemah—justru itu tanda bahwa kita manusia.
Sudah saatnya kita membangun budaya yang lebih empatik: yang tidak hanya memuja semangat, tetapi juga merangkul luka. Karena kesehatan mental tidak dibentuk dari senyuman palsu, tetapi dari keberanian untuk merasa apa pun yang sedang dirasakan.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”