1.Fenomena Perkawinan Anak di NTB
Perkawinan anak di Indonesia masih menjadi tantangan serius dalam perlindungan hak anak, terutama di wilayah-wilayah dengan tradisi adat yang kuat seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB). Data dari Badan Pusat Statistik (2021) menunjukkan bahwa NTB menempati peringkat ketiga tertinggi dalam angka perkawinan usia dini di Indonesia. Fenomena ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil dari interaksi antara faktor budaya, sosial, ekonomi, dan hukum yang saling berkelindan. Tradisi Merariq—yaitu praktik kawin lari yang khas di kalangan masyarakat Sasak di Lombok—kerap dijadikan pembenaran sosial atas terjadinya perkawinan anak (Rahmawati, 2021).
2. Tradisi Perkawinan Anak: Praktik “Merariq” dan Dinamikanya
Tradisi Merariq adalah bentuk ekspresi budaya yang pada mulanya memiliki makna simbolik sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi keluarga atas pilihan pasangan. Namun, dalam praktik kontemporer, Merariq seringkali disalahartikan dan digunakan untuk memaksa atau mempercepat pernikahan, bahkan terhadap anak yang masih di bawah umur. Studi oleh Sari & Yusran (2020) menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, anak perempuan tidak memahami konsekuensi dari tindakannya, dan orang tua cenderung “merestui” pernikahan demi menjaga nama baik keluarga.
Ketika seorang perempuan “dilarikan”, komunitas menganggapnya telah “bercampur” dengan laki-laki tersebut, meskipun belum terjadi hubungan seksual. Oleh karena itu, jalan satu-satunya untuk “memulihkan” martabat keluarga adalah dengan segera menikahkan keduanya, terlepas dari usia mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya bisa menjadi sarana reproduksi sosial yang justru mempertahankan praktik-praktik yang merugikan kelompok rentan.
3. Faktor Pendorong: Budaya, Sosial, dan Ekonomi
Faktor budaya dan norma sosial sangat berperan dalam memperkuat praktik perkawinan anak. Sistem patriarki yang kuat menjadikan perempuan sebagai objek dalam struktur sosial, di mana peran mereka sering kali dibatasi pada urusan domestik dan reproduksi (Nurmila, 2009). Tekanan dari masyarakat untuk menikahkan anak perempuan sedini mungkin agar tidak menjadi beban ekonomi juga mempercepat proses ini (UNICEF Indonesia, 2020).
Faktor ekonomi tak kalah signifikan, terutama di wilayah pedesaan. Banyak keluarga menganggap menikahkan anak perempuan sebagai strategi pengurangan beban ekonomi rumah tangga, terutama jika mahar yang diterima cukup besar. Di sisi lain, rendahnya tingkat pendidikan juga menjadi pemicu utama. Data dari BKKBN (2021) menunjukkan bahwa anak-anak yang hanya menempuh pendidikan hingga tingkat dasar memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk menikah di usia muda dibandingkan mereka yang mengenyam pendidikan menengah atau tinggi.
4. Reproduksi Sosial: Pewarisan Nilai yang Melanggengkan
Konsep reproduksi sosial sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu (1977) merujuk pada bagaimana struktur sosial dan nilai-nilai budaya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui praktik-praktik institusional seperti keluarga, sekolah, dan komunitas. Dalam kasus NTB, keluarga menjadi agen utama reproduksi sosial yang menormalisasi perkawinan anak sebagai “jalan hidup yang wajar” bagi anak perempuan.
Penelitian oleh Hamid & Fauzi (2022) mencatat bahwa banyak anak perempuan di Lombok yang sudah memiliki konsep bahwa hidup mereka hanya akan “lengkap” ketika menikah, sebagaimana yang mereka lihat dari ibu atau perempuan dewasa lainnya. Selain itu, lembaga keagamaan dan tokoh adat sering kali kurang memberikan penekanan pada pentingnya usia matang secara psikologis dan biologis dalam pernikahan, sehingga turut memperkuat nilai-nilai lama.
5. Perspektif Hukum: Pelanggaran terhadap Hak Anak
Secara hukum, praktik perkawinan anak bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan. UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tegas menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Selain itu, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, serta berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, termasuk dari praktik perkawinan di usia dini.
Lebih jauh, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, yang menegaskan bahwa negara wajib melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi, termasuk eksploitasi yang bersumber dari norma budaya yang merugikan mereka (UNICEF, 2020)
6. Nilai Budaya dan Potensi Transformasi
Tidak semua unsur budaya harus dilestarikan tanpa kritik. Dalam pendekatan antropologi kritis, budaya bersifat dinamis dan dapat diinterpretasi ulang sesuai dengan kebutuhan zaman. Tradisi seperti Merariq sebenarnya bisa dipelihara nilai simboliknya sebagai ekspresi cinta dan kemandirian, tetapi perlu dikaji ulang dalam hal penerapannya agar tidak mencederai hak anak.
Upaya transformasi nilai sudah mulai dilakukan oleh sejumlah komunitas adat di Lombok, misalnya melalui inisiatif Merariq Sehat yang digagas oleh tokoh adat dan pemerintah daerah. Program ini menekankan bahwa Merariq hanya dapat dilakukan jika kedua pasangan telah dewasa secara usia dan mendapatkan persetujuan dari kedua keluarga serta tidak melanggar hukum (Kementerian PPA, 2022).
7. Kesimpulan
Perkawinan anak di NTB adalah produk dari konstruksi budaya dan reproduksi sosial yang telah berlangsung lama. Tradisi seperti Merariq menunjukkan bagaimana nilai-nilai lokal bisa menjadi bumerang jika tidak disesuaikan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak anak dan hukum nasional. Oleh karena itu, perlu upaya kolektif dari negara, masyarakat adat, tokoh agama, dan lembaga pendidikan untuk merekonstruksi tradisi menjadi lebih ramah terhadap anak dan masa depannya.
Transformasi ini menuntut adanya keseimbangan antara pelestarian budaya dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, di mana budaya tetap dijunjung tinggi, namun tidak dijadikan alasan untuk membenarkan praktik yang merugikan generasi mendatang.
Referensi
Bourdieu, P. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press.
Hamid, S., & Fauzi, I. (2022). “Pola Reproduksi Sosial dalam Perkawinan Anak di Lombok: Kajian Sosiologis.” Jurnal Sosiologi Pendidikan, 6(1), 15–30.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). (2022). Laporan Praktik Baik Pencegahan Perkawinan Anak di Indonesia.
Nurmila, N. (2009). Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia. Routledge.
Rahmawati, N. (2021). “Tradisi Merariq dan Implikasinya terhadap Perkawinan Anak di NTB.” Jurnal Hukum Keluarga Islam, 9(2), 120–135.
Sari, D., & Yusran, H. (2020). “Analisis Sosial Budaya atas Perkawinan Anak di Kabupaten Lombok Tengah.” Jurnal Sosial Humaniora, 12(3), 112–125.
UNICEF Indonesia. (2020). Child Marriage in Indonesia: Progress and Challenges.
UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.eputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child.