Tunjangan DPRD NTT: Fantastis untuk Elit, Ironis untuk Rakyat
Mari kita bicara blak-blakan. Pergub Nomor 22 Tahun 2025 yang mengatur tunjangan Ketua dan anggota DPRD NTT adalah tamparan telak bagi akal sehat. Di tengah kenyataan bahwa lebih dari satu juta orang NTT masih hidup miskin, para wakil rakyat justru menikmati angka yang nyaris tak masuk akal: Ketua DPRD bisa mengantongi lebih dari Rp55 juta hanya dari tunjangan rumah dan transportasi per bulan. Itu belum gaji pokok, perjalanan dinas, atau fasilitas lain.
Pertanyaan sederhana: Di bumi mana para politisi ini hidup? Karena jelas mereka tak sedang menjejak tanah yang sama dengan rakyat di Manggarai yang harus antre air berjam-jam, atau nelayan di Lembata yang melaut dengan perahu bocor. Mereka seakan hidup di “NTT versi elite”, provinsi imajiner yang sejahtera, berlimpah dana, dan cukup mewah untuk membiayai gaya hidup pejabatnya.
Ironi ini semakin terasa karena NTT sudah lama dicap sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Bukannya menurunkan angka kemiskinan lewat program nyata, justru yang dipoles adalah kenyamanan kursi legislatif. Solidaritas sosial mati di ruang sidang.
Mari kita sebut ini apa adanya: mentalitas feodal baru. Bedanya, jika dulu para raja kecil menghisap rakyat lewat upeti, kini upeti itu bernama tunjangan resmi yang dilegalkan lewat aturan gubernur. Dan kita, rakyat biasa, hanya bisa menonton sambil gigit bibir, karena angka-angka itu keluar bukan dari saku pribadi, melainkan dari APBD yang notabene uang rakyat.
Sungguh memalukan. Bagaimana mungkin mereka berani berbicara tentang mewakili rakyat sementara gaya hidupnya terpisah jurang dari realitas rakyat itu sendiri? Bagaimana mungkin mereka menuntut kepercayaan, sementara kebijakan yang mereka nikmati justru mengikis legitimasi politik?
Rakyat NTT tidak butuh DPRD yang jago selfie di hotel mewah atau sibuk berkendara dengan fasilitas transportasi fantastis. Rakyat butuh jalan yang tidak berlubang, sekolah yang tidak roboh, dan air bersih yang mengalir di rumah.
Jika para elite ini masih punya nurani, inilah saatnya mereka menolak kenyamanan pribadi dan memilih keberpihakan sosial. Jika tidak, jangan heran bila ke depan rakyat sendiri yang menagih harga dari setiap rupiah yang dihamburkan.
Karena keadilan tidak lahir dari angka tunjangan, melainkan dari solidaritas nyata dengan mereka yang miskin dan terpinggirkan. Dan jelas, saat ini solidaritas itu sudah lama meninggalkan gedung DPRD NTT.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”