Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menentang rencana pendanaan proyek family office menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), diskusi publik pun mencuat. Proyek yang diusulkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan ini memunculkan opini pro dan kontra di masyarakat. Keputusan itu tampak sederhana, yaitu sebuah penolakan administratif terhadap skema pembiayaan. Namun di baliknya tersimpan persoalan yang lebih kompleks: bagaimana negara menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan tanggung jawab sosial.
Wacana family office awalnya dimaksudkan untuk menarik dana dari keluarga konglomerat dan investor besar agar kekayaannya bisa dikelola di Indonesia. Gagasan yang tampak strategis dalam konteks pascapandemi, negara berupaya memperkuat arus modal masuk dan meningkatkan stabilitas fiskal. Di beberapa negara maju, family office berperan sebagai lembaga pengelola kekayaan pribadi lintas generasi yang mengatur investasi pada berbagai instrumen keuangan, properti, sampai filantropi.
Namun, situasi Indonesia berbeda. Penggunaan dana publik dalam proyek yang secara konseptual menguntungkan kelompok elite ekonomi menimbulkan pertanyaan etis dan sosial. Purbaya menyoroti bahwa dana APBN harus diarahkan untuk kepentingan umum secara menyeluruh, seperti infrastruktur dasar, pendidikan, atau subsidi energi, bukan untuk mendukung pengelolaan kekayaan privat, bagaimanapun potensinya terhadap perekonomian nasional. Dalam konteks ini, kebijakan fiskal tidak lagi dapat diproyeksikan hanya sebagai keputusan ekonomi, melainkan juga sebagai refleksi moral negara.
Konsep Family Office pada awalnya bukan hal yang baru di dunia keuangan. Family office berfungsi sebagai pusat pengelolaan kekayaan bagi individu atau keluarga dengan aset yang besar. Mereka menyediakan layanan manajemen investasi, pajak, hingga filantropi. Sebagai contoh, Singapura, family office menjadi instrumen penting bagi pertumbuhan sektor keuangan karena mampu menarik investor global untuk menanamkan dananya di dalam negeri.
Namun, berbeda dengan konteks global ketika dibawa masuk ke Indonesia, realita sosial-ekonomi Indonesia menghadirkan tantangan tersendiri yang masih cukup berat. Ketimpangan ekonomi yang lebar dan sensitivitas publik terhadap penggunaan dana negara membuat wacana proyek ini tidak dapat dinilai dari aspek finansial saja. Menkeu Purbaya memandang bahwa pendanaan semacam ini berpotensi mengaburkan batas antara tanggung jawab fiskal negara dan keuntungan pribadi. Pernyataan Purbaya yang menolak dialihkannya anggaran ke proyek family office menunjukkan bahwa ia mengutamakan penggunaan dana publik untuk pemanfaatan yang lebih langsung ke masyarakat (Kompas, 2025; IDN Times, 2025).
Keputusan menolak APBN untuk proyek family office menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi tak pernah berdiri di ruang hampa. Ia selalu melekat pada jaringan nilai, norma, dan legitimasi sosial. Di satu sisi, ada dorongan untuk menciptakan iklim investasi yang menarik bagi kapital besar. Di sisi lain, ada tanggung jawab moral pemerintah untuk menjaga legitimasi dan kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini, keputusan fiskal bukan hanya soal efisiensi atau perhitungan untung rugi, melainkan juga soal rasa keadilan yang dirasakan publik.
Kebijakan ekonomi memang membutuhkan rasionalitas teknokratis, tetapi tanpa penerimaan sosial, keputusan itu mudah kehilangan makna. Publik tidak hanya menilai apakah kebijakan ini menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga apakah ia “terasa adil” dan sesuai dengan semangat konstitusional, yaitu kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia. Kepekaan terhadap persepsi seperti ini sangat penting, sebab kepercayaan sosial menjadi modal politik yang sangat berharga dari investasi finansial. Dalam setiap kebijakan fiskal, angka-angka belanja negara selalu bersinggungan dengan nilai: siapa yang dibantu, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana keputusan tersebut dipahami masyarakat.
Dengan kata lain, ekonomi negara tidak berjalan dalam ruang yang terisolasi. Ia tertanam dalam jaringan sosial, politik, dan kelembagaan yang membentuk arah serta makna dari setiap keputusan. Inilah yang menjelaskan mengapa keputusan Purbaya bersifat strategis, tidak semata-mata berkaitan dengan efisiensi anggaran, melainkan juga dengan upaya menjaga batas antara kepentingan publik dan privat. Langkah Kementerian Keuangan dapat dibaca sebagai bentuk kewaspadaan institusional dalam menjaga publik.
Dalam teori ekonomi klasik, kebijakan sering diasumsikan netral dan rasional. Namun sosiolog ekonomi Mark Granovetter (1985) mengkritik pandangan ini melalui konsep embeddedness yang menegaskan bahwa tindakan ekonomi selalu tertanam dalam jaringan sosial, politik, dan kelembagaan. Dengan kata lain, keputusan ekonomi tidak pernah sepenuhnya terlepas dari konteks sosial yang melingkupinya.
Kasus family office di Indonesia menjadi contoh nyata dari bagaimana embeddedness bekerja. Keputusan Purbaya mencerminkan kesadaran bahwa kebijakan ekonomi harus mempertimbangkan dimensi sosial ini. Menolak penggunaan APBN bukan hanya langkah fiskal, tetapi juga upaya menjaga kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan negara. Dalam masyarakat yang sensitif terhadap isu ketimpangan dan elitisasi ekonomi, keputusan semacam ini dapat menjadi simbol komitmen pemerintah terhadap prinsip keadilan.
Embeddedness juga mengingatkan bahwa relasi antara negara dan pasar bukan sekadar transaksi rasional, melainkan jaringan kepercayaan dan nilai yang saling menopang. Ketika pemerintah gagal membaca dimensi sosial ini, kebijakan ekonomi yang tampak rasional di atas kertas bisa berujung pada resistensi politik atau ketidakpercayaan publik. Penolakan terhadap pembiayaan family office melalui APBN membawa dua pesan penting. Pertama, pemerintah perlu menjaga garis pembeda antara kebijakan fiskal dan kepentingan ekonomi privat. Kedua, transparansi dan akuntabilitas adalah fondasi utama untuk menciptakan kepercayaan sosial terhadap kebijakan publik.
Di masa depan, Indonesia tetap bisa mengembangkan model family office tanpa menggunakan dana publik, misalnya dengan skema kemitraan swasta atau insentif pajak terbatas. Dengan cara ini, negara tetap dapat menarik modal tanpa mengorbankan integritas kebijakan fiskal. Lebih jauh, kasus ini menjadi pengingat bahwa setiap keputusan ekonomi adalah tindakan sosial. Negara bukan hanya entitas ekonomi, tetapi juga institusi moral yang bertugas menyeimbangkan pertumbuhan dengan keadilan.
Keputusan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menolak pendanaan family office melalui APBN adalah momentum reflektif bagi tata kelola ekonomi Indonesia. Di tengah ambisi pertumbuhan dan tekanan globalisasi, keputusan itu menegaskan bahwa uang negara harus tetap berpihak pada kepentingan publik. Ekonomi memang berbicara dengan angka, tetapi angka-angka itu hanya bermakna jika disertai rasa percaya dan keadilan. Dalam dunia yang semakin saling terhubung, menjaga batas antara uang keluarga dan uang negara bukan sekadar urusan fiskal, melainkan soal menjaga integritas negara di mata rakyatnya.
Referensi
Granovetter, M. (1985). Economic action and social structure: The problem of embeddedness. American Journal of Sociology, 91(3), 481–510. https://doi.org/10.1086/228311
IDN Times. (2025, Oktober 15). Respons Purbaya: Tim Luhut sebut Family Office memang tak pakai APBN. https://www.idntimes.com/business/economy/respons-purbaya-tim-luhut-sebut-family-office-memang-tak-pakai-apbn
Kompas. (2025, Oktober 15). Mengenal Family Office, proyek yang ditolak Menkeu Purbaya jika pakai APBN. https://www.kompas.com/tren/read/2025/10/15/123000265/mengenal-family-office-proyek-yang-ditolak-menkeu-purbaya-jika-pakai-apbn
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”