Work-Life Balance ala Gen Z: Antara Karier, Kreativitas, dan Healing
Di sebuah kafe kecil di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat sore itu, Nadia (24) tampak serius menatap layar laptopnya. Tangannya cekatan menyesuaikan desain grafis untuk klien sambil sesekali menyeruput kopi susu. Di sela-sela kerja freelance, ia juga sempat memotret hasil desainnya untuk diunggah ke Instagram. Kerja kantoran tetap jalan, tapi bikin konten kreatif itu semacam healing buat saya, katanya sambil tersenyum.
Fenomena Nadia adalah potret generasi Z di perkotaan Indonesia: luwes, multitasking, dan menjadikan work-life balance sebagai pedoman hidup. Bagi mereka, bekerja keras tanpa ruang pribadi sudah tidak relevan.
Generasi yang Tumbuh Bersama Internet
Gen Z, mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012, tumbuh di era digital. Akses tanpa batas pada teknologi membuat mereka terbiasa berpindah antara dunia kerja dan ruang personal. Survei LinkedIn tahun 2024 menyebutkan, 7 dari 10 Gen Z di Asia Tenggara memilih pekerjaan fleksibel dibandingkan gaji tinggi.
Anak-anak muda lebih mengutamakan keseimbangan. Mereka tidak mau mengulang pola orang tua yang workaholic tapi mengorbankan kesehatan mental, ujar Rini Agustina, psikolog industri.
Antara Karier dan Kreativitas
Bagi Gen Z, pekerjaan utama hanyalah satu identitas. Mereka butuh wadah lain untuk mengekspresikan diri. Side hustle pekerjaan sampingan yang biasanya terkait kreativitas, kini jadi bagian dari gaya hidup.
Data Katadata Insight Center (2023) menunjukkan, sekitar 48 persen Gen Z Indonesia memiliki penghasilan tambahan dari aktivitas di luar pekerjaan utama, mulai dari membuat konten media sosial, desain digital, hingga berjualan online.
Kevin (26), karyawan sebuah startup teknologi, mengaku lebih bahagia setelah menyeimbangkan karier dan hobinya membuat vlog traveling. Kalau hanya kerja, saya cepat jenuh. Vlog bikin saya lebih produktif sekaligus dapat tambahan penghasilan, ujarnya.
Healing: Bukan Sekadar Liburan Mahal
Bagi banyak Gen Z, istilah healing identik dengan merawat diri setelah kelelahan mental. Namun healing tidak selalu berarti liburan jauh.
Menurut riset Populix 2024, 62 persen Gen Z Indonesia memilih aktivitas sederhana sebagai healing, seperti nongkrong di kafe, berolahraga, atau sekadar digital detox. Healing itu bisa sederhana. Buat saya, menutup laptop, tidur cukup, atau jalan pagi sudah cukup bikin waras, kata Nadia.
Tetapi, fenomena healing ini juga punya sisi lain. Banyak Gen Z merasa bersalah jika healing dianggap malas oleh generasi sebelumnya. Padahal, ini soal menjaga kesehatan mental agar tetap produktif, tambah Rini.
Tantangan Dunia Kerja
Tidak semua perusahaan siap menghadapi perubahan paradigma ini. Budaya kerja konvensional, datang pagi, pulang malam, sering bertabrakan dengan ekspektasi Gen Z.
Kalau perusahaan tidak mau fleksibel, mereka akan kehilangan talenta muda yang kreatif, kata Rini. Beberapa perusahaan kini mulai merespons dengan menerapkan hybrid working, jam kerja fleksibel, atau bahkan cuti khusus untuk kesehatan mental.
Definisi Baru Kesuksesan
Gen Z tampaknya tengah mendefinisikan ulang arti sukses. Bukan lagi sekadar jabatan tinggi atau gaji besar, tetapi hidup yang seimbang: karier yang berkembang, kreativitas yang terjaga, dan kesehatan mental yang stabil.
Kalau bisa kerja sambil tetap punya waktu untuk diri sendiri, itulah sukses buat saya, tutup Kevin.
Di tangan generasi ini, work-life balance bukan jargon kosong. Ia menjelma menjadi strategi hidup untuk bertahan di era serba cepat, sebuah kombinasi antara karier, kreativitas, dan healing yang menghidupkan makna baru: bekerja cerdas sambil tetap merayakan hidup.