Fenomena siswi SMA yang mengenakan makeup berlebihan di sekolah semakin terlihat nyata di berbagai daerah. Media sosial, tren selebriti, dan dunia kecantikan berperan besar membentuk persepsi bahwa makeup tebal adalah standar kecantikan dan kepercayaan diri. Seiring perkembangan zaman, batasan antara penampilan di luar sekolah dan penampilan di lingkungan pendidikan mulai kabur. Padahal, sekolah adalah tempat untuk membentuk karakter, belajar, dan mengembangkan kemampuan akademik. Ketika siswi datang dengan makeup berlebihan, fokus lingkungan belajar dapat bergeser dari substansi materi pelajaran menjadi pembahasan atau perhatian terhadap penampilan. Tidak jarang hal ini menimbulkan bisik-bisik atau komentar di antara siswa lain, bahkan mengalihkan perhatian guru. Perubahan ini dapat mempengaruhi suasana belajar yang sebelumnya sederhana dan kondusif, menjadi lebih ramai oleh perbincangan berbau estetika. Hal ini penting dibahas karena penggunaan makeup bukan hanya soal kebiasaan pribadi, tetapi juga bakal mempengaruhi norma, interaksi, dan budaya yang terbentuk di lingkungan sekolah.
Di usia remaja, penampilan sering dijadikan bagian penting dari identitas diri. Siswi yang mengenakan makeup berlebihan biasanya menjadi pusat perhatian dalam pergaulan, baik yang positif maupun negatif. Ada yang mengagumi keterampilan makeup tersebut, tetapi ada juga yang menilai berlebihan dan tidak sesuai situasi. Pergaulan di sekolah bisa terpecah menjadi kelompok yang mendukung tren itu dan kelompok yang memilih tetap sederhana. Pembentukan kelompok ini berpotensi memunculkan jarak sosial, di mana siswa dengan makeup mencolok dianggap lebih gaul atau lebih berani, sedangkan yang tampil natural dianggap kurang mengikuti zaman. Interaksi dengan guru pun bisa berubah; sebagian guru mungkin melihat penggunaan makeup berlebihan sebagai pelanggaran aturan, sehingga interaksi menjadi lebih formal dan penuh teguran. Situasi ini menciptakan lingkungan pergaulan yang tidak sepenuhnya harmonis, karena penampilan menjadi faktor utama penilaian sosial, padahal yang diharapkan di sekolah adalah kerja sama, saling menghargai, dan menilai teman berdasarkan karakter serta prestasi.
Sekolah memiliki norma atau aturan yang mengatur penampilan siswa, biasanya menekankan pada kesopanan, kerapian, dan kesederhanaan. Ketika siswi mulai datang dengan makeup berlebihan, hal ini memicu terjadinya pelanggaran norma tersebut. Norma yang awalnya menjadi pedoman perilaku bisa melemah jika pelanggaran dibiarkan tanpa sanksi tegas. Lebih jauh, citra sekolah di mata masyarakat ikut terpengaruh. Sekolah yang siswa-siswinya tampil glamor dalam keseharian bisa dinilai kurang mendisiplinkan murid, atau dianggap membiarkan gaya hidup konsumtif. Bagi sebagian orang tua, hal ini menurunkan kepercayaan terhadap kemampuan sekolah dalam membentuk karakter. Selain itu, penggunaan makeup berlebihan juga dapat memicu pengeluaran yang cukup besar bagi siswi, sehingga memunculkan kesan bahwa lingkungan sekolah mendorong kompetisi penampilan. Norma sederhana dan fokus pada pembelajaran yang ingin ditanamkan sekolah akhirnya tersisihkan oleh norma baru yang berbasis tren kecantikan. Pada akhirnya, masalah ini menjadi lebih dari sekadar pilihan pribadi; ia masuk ke ranah pembentukan nilai sosial di sekolah.
Budaya populer yang disebarkan oleh influencer, selebriti, dan media sosial memainkan peran besar dalam tren makeup berlebihan. Remaja, termasuk siswi SMA, berada pada tahap pencarian jati diri sehingga mudah terpengaruh oleh model penampilan yang viral. Tekanan sosial dari teman sebaya juga menentukan; siswi yang tidak mengikuti tren makeup bisa merasa tidak percaya diri atau bahkan dikucilkan. Sebagian besar ingin diterima dalam kelompok, dan penampilan menjadi salah satu tiket masuknya. Akibatnya, banyak siswi yang membawa kosmetik ke sekolah, bahkan merias diri di kelas atau pada waktu istirahat. Kebiasaan ini lambat laun membentuk budaya baru di lingkungan sekolah, di mana makeup berlebihan dianggap normal. Dampaknya tidak hanya pada penampilan, tetapi juga pada pola pikir siswa yang lebih memprioritaskan citra fisik daripada pencapaian akademik atau perilaku. Tanpa pengawasan dari guru dan sosialisasi yang tepat, budaya ini bisa berkembang menjadi norma baru yang berbeda jauh dari tujuan pendidikan formal.
Penggunaan makeup berlebihan oleh siswi SMA di sekolah bukan hanya soal penampilan, melainkan fenomena yang mempengaruhi interaksi sosial, norma, budaya, dan citra lembaga pendidikan. Lingkungan sekolah yang ideal menekankan kesederhanaan, fokus belajar, dan menghargai prestasi, namun semua ini dapat teralihkan jika perhatian berpusat pada penampilan fisik. Solusi yang bisa dilakukan antara lain, mempertegas aturan penampilan secara bijak, memberikan sosialisasi tentang norma kesopanan, mengadakan edukasi tentang kecantikan yang sesuai konteks sekolah, serta melibatkan orang tua untuk membina anak agar memahami batas penggunaan makeup. Sekolah juga bisa mengadakan kegiatan kreatif seperti lomba penampilan sederhana atau seminar perawatan diri yang tidak berlebihan. Dengan pendekatan ini, siswi tetap bisa berekspresi melalui penampilan, namun dalam batas yang selaras dengan tujuan pendidikan. Mengajarkan bahwa kecantikan sejati berasal dari sikap baik, kecerdasan, dan kepercayaan diri akan membantu membentuk lingkungan sekolah yang sehat, harmonis, dan berorientasi prestasi.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































