Pernahkah kita berpikir, dari mana asalnya semua ilmu pengetahuan yang kita pelajari di sekolah atau kita gunakan sehari-hari? Dari smartphone yang kita pegang, obat-obatan yang menyembuhkan, hingga pesawat yang terbang tinggi? Selama ini, mungkin kita sering mendengar bahwa ilmu pengetahuan modern berasal dari “Barat” dari para ilmuwan seperti Einstein, Newton, atau Galileo. Tapi sebenarnya, jauh sebelum mereka, dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan yang sangat maju. Lalu, apa bedanya sains yang berkembang di Barat dengan sains yang pernah berkembang dalam peradaban Islam?
Pertama, mari kita bicara tentang sains Barat yang kita kenal sekarang. Sains Barat tumbuh dengan prinsip segala sesuatu harus bisa dibuktikan dengan akal dan percobaan. Agama dan sains dipisahkan. Gereja punya urusannya sendiri, laboratorium punya urusannya sendiri. Karena itu, sains Barat sangat fokus pada “fakta” yang bisa diukur, diulang, dan dilihat. Cara ini sangat berhasil! Lihat saja kemajuan teknologi yang kita nikmati sekarang: internet, mobil listrik, operasi jantung, semua lahir dari cara pandang ini. Tapi, ada sisi lain yang sering terlupakan. Karena sains Barat ingin “objektif” dan bebas nilai, kadang dampak buruknya kurang diperhatikan. Misalnya, pencemaran lingkungan akibat industri, eksploitasi sumber daya alam berlebihan, atau penggunaan teknologi untuk senjata perang. Sains Barat seperti pisau: sangat tajam dan berguna, tapi bisa melukai jika tidak dipakai dengan hati-hati.
Sekarang, bagaimana dengan sains Islam? Di dunia Islam, ilmu pengetahuan tidak dipisahkan dari agama. Malah, sains dianggap sebagai bagian dari ibadah. Mengamati bintang, mempelajari tubuh manusia, atau meneliti tumbuhan adalah cara untuk mengenal kebesaran Tuhan. Ilmuwan Muslim dulu seperti Ibnu Sina (ahli kedokteran) atau Al-Khawarizmi (ahli matematika) tidak hanya mencari “fakta”, tapi juga mencari “hikmah” di balik fakta itu. Mereka percaya bahwa alam semesta ini punya tujuan dan aturan dari Sang Pencipta. Karena itu, sains Islam punya tujuan yang lebih luas, bukan hanya untuk kemajuan materi, tapi juga untuk kebaikan bersama, keadilan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu pengetahuan harus membawa manfaat (maslahat) dan tidak merusak. Cara pandang ini membuat sains jadi lebih “manusiawi” dan terhubung dengan nilai-nilai kehidupan.
Lalu, kenapa sekarang seolah-olah sains Barat lebih dominan? Ini ada kaitannya dengan sejarah. Dulu, sekitar abad ke-8 hingga ke-14, dunia Islam sangat maju dalam ilmu pengetahuan. Tapi kemudian, karena berbagai sebab politik, perang, dan kemunduran pemikiran, pusat ilmu pindah ke Eropa. Bangsa-bangsa Eropa lalu mengembangkan sains dengan cepat ditambah dengan semangat penjelajahan dan revolusi industri. Sementara banyak negara Islam justru dijajah, dan sistem pendidikan Barat diterapkan, sering kali dengan mengabaikan warisan ilmuwan Muslim sendiri. Akibatnya, muncul pemisahan yang kaku yaitu ilmu agama diajarkan di pesantren dan ilmu umum diajarkan di sekolah biasa, seolah keduanya tidak ada hubungannya.
Tapi belakangan, ada gerakan untuk menyatukan kembali kedua cara pandang ini. Banyak cendekiawan Muslim yang mengatakan: “Kita tidak perlu menolak sains Barat. Tapi kita perlu menyaringnya dengan nilai-nilai Islam.” Misalnya, kita boleh memakai teknologi vaksin untuk kesehatan, tapi juga harus mempertimbangkan etika dalam penggunaannya. Kita boleh mengembangkan kecerdasan buatan (AI), tapi harus memastikan AI itu tidak merugikan manusia atau melanggar privasi. Inilah yang disebut “islamisasi ilmu pengetahuan” bukan membuat sains baru dari nol, tapi memberi “ruh” atau “tujuan baik” pada sains yang sudah ada.
Jadi, sebenarnya apa yang bisa kita pelajari dari perbandingan ini?
1. Sains Barat hebat dalam mencari “bagaimana” sesuatu bekerja. Ia sangat detail, teknis, dan menghasilkan teknologi canggih. Tapi kadang lupa bertanya “untuk apa” dan “apa dampaknya bagi manusia dan alam?”
2. Sains Islam mengingatkan kita pada “mengapa” dan “untuk siapa” ilmu itu digunakan. Ilmu harus membawa kebaikan, keadilan, dan mengingatkan kita pada Sang Pencipta.
Kedua cara pandang ini sebenarnya bisa saling melengkapi. Bayangkan jika kita punya dokter yang sangat pintar secara teknologi (seperti sains Barat), tapi juga punya kepedulian yang tinggi, jujur, dan menganggap merawat pasien sebagai ibadah (seperti semangat sains Islam). Atau insinyur yang bisa membangun gedung pencakar langit, tapi juga memastikan pembangunannya tidak merusak lingkungan dan adil bagi pekerja.
Bagi kita, pelajaran pentingnya adalah ilmu pengetahuan tidak netral. Ia selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai di baliknya. Saat kita mempelajari sains, kita tidak hanya sekadar menghafal rumus atau teori. Kita juga bisa bertanya ilmu ini akan dipakai untuk apa? Apakah untuk menipu orang atau membantu orang? Apakah untuk merusak alam atau melestarikannya?
Warisan keilmuan Islam mengajarkan bahwa mencari ilmu adalah perintah agama, dan ilmu yang bermanfaat adalah amal yang tidak putus. Sementara sains Barat memberi kita alat- alat canggih untuk mewujudkan manfaat itu. Dengan menggabungkan keduanya akal yang cerdas dan hati yang bijak kita bisa membangun peradaban yang tidak hanya maju secara teknologi, tapi juga mulia secara moral. Jadi, mari kita lihat sains bukan sebagai milik “Barat” atau “Timur” semata, tapi sebagai khazanah manusia bersama yang bisa kita olah dengan tanggung jawab dan hikmah.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”








































































