Kemajuan teknologi informasi bak pedang bermata dua bagi dunia pendidikan. Di satu sisi, internet, mesin pencari, dan database digital mempermudah akses ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain, kemudahan ini memunculkan ancaman serius bernama plagiarisme.
Dalam sebuah kajian bertajuk “Ancaman Plagiarisme Terhadap Karya Tulis Ilmiah dan Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”, Muhammad Safi Yulianto dari Fakultas Ushuluddin dan Adab, menyoroti bahwa plagiarisme kini bukan sekadar pelanggaran etika sopan santun di kampus, melainkan sebuah tindakan pencurian intelektual yang memiliki konsekuensi hukum berat.
Bukan Sekadar “Copy-Paste”
Plagiarisme sering disalahartikan hanya sebatas menyalin teks mentah-mentah. Padahal, mengambil ide, meniru struktur gagasan tanpa menyertakan sumber (atribusi) yang layak, juga termasuk dalam kategori ini. Hal ini dinilai merusak integritas akademik dan merugikan pencipta asli, baik secara moral maupun ekonomi (seperti hilangnya potensi royalti).
Ancaman Pidana dan Denda Fantastis
Para akademisi dan penulis perlu berhati-hati. Di Indonesia, payung hukum untuk menjerat pelaku plagiarisme sangat tegas. Berlandaskan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, karya tulis dilindungi negara sebagai sebuah “Ciptaan”.
Jika seseorang terbukti melakukan plagiarisme yang melanggar hak ekonomi pencipta asli terutama untuk tujuan komersial ancamannya tidak main-main. Sesuai Pasal 113 ayat (3), pelakunya bisa dijerat hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selain pidana, jalur perdata untuk ganti rugi juga terbuka lebar bagi korban.
Sanksi Akademik: Gelar Bisa Dicabut
Sanksi di lingkungan kampus pun tak kalah mengerikan. Mengacu pada UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pemerintah menaruh perhatian serius pada integritas perguruan tinggi.
Bagi mahasiswa, dosen, atau peneliti yang terbukti menjiplak demi mendapatkan kredit atau nilai, hukuman berat menanti. Mulai dari penundaan promosi, penurunan jabatan, pemberhentian tidak hormat, hingga sanksi paling fatal: pencabutan gelar akademik yang telah diperoleh.
Solusi: Teknik Parafrase dan Bantuan Teknologi
Untuk menghindari jebakan plagiarisme, penulis disarankan untuk menguasai dua teknik vital: kutipan dan parafrase. Mengutip berarti mengambil kalimat sumber secara langsung dengan tanda yang jelas, sementara parafrase adalah seni menulis ulang gagasan orang lain menggunakan bahasa sendiri tanpa mengubah makna aslinya.
Selain kemampuan menulis, pemanfaatan teknologi pendeteksi seperti Turnitin atau Grammarly juga menjadi langkah preventif yang krusial. Kesadaran akan hukum dan etika ini menjadi kunci untuk menjaga martabat pendidikan di tengah arus informasi digital yang serba cepat.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































