Pemilu merupakan proses demokratis untuk menentukan siapa yang akan memimpin dan mewakili rakyat. Sebagai pilar utama demokrasi, pemilu memberi ruang kepada warga untuk memilih pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif, demi terwujudnya pemerintahan yang akuntabel dan berintegritas.
Namun, menjelang batas akhir pendaftaran capres dan cawapres 2024, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini menetapkan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden, asalkan mereka pernah menjabat kepala daerah. Kontroversi pun mencuat, terutama soal dugaan konflik kepentingan dan hubungan kekerabatan hakim MK dengan salah satu kandidat, sehingga memengaruhi kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Meskipun demikian, etika memiliki peranan signifikan dalam menentukan kesuksesan pelaksanaan kegiatan organisasi dan pelayanan administrasi publik. Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai moral yang terdapat dalam setiap tahap proses kegiatan administrasi publik.
Etika administrasi publik memiliki peran krusial dalam mengawasi penggunaan kekuasaan pemerintahan dan memastikan bahwa para aparatur pemerintah menjalankan tugas mereka dengan integritas dan moralitas. Kebutuhan untuk pengembangan lebih lanjut dan penekanan pada nilai-nilai moral dalam penelitian dan praktik administrasi publik di Indonesia (Sukarso & Dasuki, 2020). Melalui penjabaran latarbelakang diatas, studi memiliki tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana sudut pandang etika moral administrasi publik pada kebijkan yang di ambil oleh MK pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2024 di Indonesia.
Kendati putusan MK bersifat final dan mengikat, persoalan etika tidak bisa diabaikan begitu saja. Etika dan moral harus menjadi acuan utama pejabat publik agar terhindar dari konflik kepentingan dan korupsi. Selain memperkuat pengawasan dan penegakan kode etik, pembenahan nilai-nilai moral perlu diutamakan agar tujuan reformasi birokrasi bisa benar-benar tercapai. Sejumlah pakar menekankan bahwa pengawasan ketat dan penerapan etika menjadi kunci pencegahan penyimpangan kekuasaan. Aparat publik harus mampu melindungi kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau politik. Selain itu, pengawasan dari masyarakat juga harus didorong agar tercipta birokrasi yang transparan dan berorientasi pelayanan.
Penerapan prinsip etika dan integritas dalam administrasi publik adalah benteng terakhir untuk melawan penyimpangan dan memperkuat demokrasi. Dengan menjunjung tinggi keadilan, akuntabilitas, dan transparansi, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara bisa dipulihkan dan birokrasi bisa melayani publik secara lebih profesional dan bermartabat.
Oleh : Afton Hilman (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya)