Di era digital, media sosial telah menjadi bagian dari keseharian kita. Fungsinya tak lagi sekadar untuk berbagi momen, tetapi juga sebagai sumber informasi, tempat promosi, hingga medium aktivisme. Namun di balik semua manfaat itu, tersimpan sisi gelap yang patut diwaspadai seperti pengaruhnya terhadap kesehatan mental.
Menurut laporan terbaru We Are Social dan Meltwater (2024), rata-rata orang Indonesia menghabiskan sekitar 3 jam 18 menit per hari di media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan X (sebelumnya Twitter) mendominasi penggunaan harian. Tetapi, apakah paparan yang begitu intens ini benar-benar sehat bagi pikiran kita?
Kebahagiaan yang Terlihat, Tekanan yang Tak Terucap
Salah satu penyebab gangguan mental akibat media sosial adalah apa yang disebut sebagai highlight reel. Banyak orang hanya membagikan potret terbaik dari hidup mereka seperti liburan mewah, tubuh ideal, hubungan harmonis, atau pencapaian besar. Apa yang tampak di layar hanyalah serpihan dari kenyataan.
Paparan konstan terhadap kehidupan “sempurna” ini bisa memicu rasa tidak cukup, iri hati, bahkan depresi. Menurut penelitian dari American Psychological Association (2023), penggunaan media sosial secara intens terutama di kalangan remaja berkontribusi pada meningkatnya kecemasan dan rendahnya kepercayaan diri.
Kecanduan Digital yang Halus Tapi Nyata
Fitur seperti gulir tak berujung, tombol suka, dan notifikasi real-time dirancang agar pengguna terus kembali. Ini bukan sekadar kebiasaan, tapi bisa berkembang menjadi kecanduan. Setiap notifikasi menghasilkan respons dopamin di otak, mirip dengan efek dari zat adiktif.
Akibatnya, banyak orang tanpa sadar mengaitkan harga dirinya dengan validasi digital berapa banyak like yang didapat, berapa followers yang bertambah. Jika tidak sesuai harapan, timbul rasa kecewa dan cemas, yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelelahan emosional atau burnout digital.
Perundungan Online dan Tekanan untuk Selalu “Sempurna”
Media sosial juga menjadi sarang bagi perundungan online atau cyberbullying, terutama di kalangan remaja. Komentar jahat, body shaming, atau penghinaan dapat dengan cepat menyebar dan berdampak besar terhadap kesehatan mental korban.
Laporan Komnas HAM (2023) menyebutkan bahwa kasus cyberbullying meningkat lebih dari 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Banyak korban mengalami stres berat, menarik diri dari pergaulan, hingga muncul keinginan bunuh diri.
Langkah Bijak dalam Menghadapi Media Sosial
Bukan berarti media sosial harus dihindari sepenuhnya. Yang penting adalah bagaimana kita menggunakannya secara bijak. Beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain:
– Membatasi waktu penggunaan. Manfaatkan fitur screen time untuk mengontrol durasi akses setiap hari.
– Konsumsi konten yang positif. Ikuti akun yang membangun dan menginspirasi, bukan yang membuat diri merasa kurang.
– Berhenti membandingkan hidup. Ingat bahwa apa yang dilihat di media sosial adalah versi editan dari kehidupan orang lain.
– Lakukan digital detox. Sesekali, ambil jeda dari dunia maya dan kembali fokus pada aktivitas di dunia nyata.
– Cari bantuan profesional. Jika merasa terbebani secara emosional, jangan ragu konsultasi dengan psikolog atau konselor.
Media sosial ibarat pisau bermata dua. Ia bisa memperkaya hidup, tapi juga bisa melukai tanpa disadari. Maka penting untuk selalu menggunakannya dengan kesadaran, empati, dan kontrol diri. Sebab kesehatan mental adalah fondasi kehidupan yang utuh jauh lebih penting daripada sekadar angka di layar.
By: rfd