Di tengah era digital yang penuh dengan interaksi cepat, justru semakin banyak kesalahpahaman terjadi. Kita sering salah menangkap maksud orang lain, tersinggung karena komentar di media sosial, atau tidak tahu cara menenangkan orang terdekat saat konflik.
Mengapa komunikasi sering gagal, padahal kita merasa sudah menjelaskannya dengan baik? Yuk kita bahas apa saja yang perlu kita ketahui!
1. Psikoanalisis: Ketika Konflik Batin Mempengaruhi Komunikasi
Teori ini diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Menurutnya, perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga struktur kepribadian:
Id (dorongan naluriah dan biologis),
Ego (penengah antara keinginan dan realitas),
Superego (nilai moral dan etika).
Studi Kasus:
Seorang teman tiba-tiba mengamuk di grup chat hanya karena tidak diundang ke acara reuni. Padahal, tidak ada maksud mengecualikan siapa pun.
Perilaku ini bisa terjadi karena konflik batin yang tak disadari. Bisa jadi ia merasa tidak dihargai atau punya pengalaman masa lalu yang mirip. Emosi yang muncul dalam komunikasi sering kali bukan tentang “apa yang dikatakan”, tetapi tentang “apa yang belum diselesaikan dalam diri”.
2. Behaviorisme: Komentar Jahat Bisa Jadi Kebiasaan yang Dipelihara
Teori ini menyatakan bahwa semua perilaku manusia adalah hasil dari proses belajar, terutama dari penguatan (ganjaran) dan hukuman.
Studi Kasus:
Di media sosial, kita sering melihat akun anonim yang selalu menyebar komentar negatif. Mengapa mereka terus melakukannya?
Bisa jadi, mereka mendapatkan “penguatan” dari reaksi orang lain: like, balasan, bahkan kemarahan. Ini membuat mereka merasa berhasil. Menurut Albert Bandura, manusia belajar dari meniru. Komentar jahat pun bisa dipelajari dan diperkuat melalui respon orang lain.
3. Psikologi Kognitif: Saat Kita Memilih Percaya Hoaks
Teori ini menekankan bahwa manusia adalah pengolah informasi aktif. Kita menafsirkan dunia sesuai dengan persepsi kita, bukan realitas objektif.
Studi Kasus:
Seseorang membagikan berita hoaks tentang politik yang sudah dibantah fakta, tapi ia tetap percaya dan menyebarkannya.
Dalam psikologi kognitif, ini disebut disonansi kognitif. Kita cenderung menerima informasi yang sejalan dengan keyakinan kita, dan menolak yang bertentangan, agar perasaan kita tetap nyaman. Maka dari itu, komunikasi bukan hanya soal memberi informasi, tapi juga memahami persepsi penerima.
4. Psikologi Humanistik: Ketika Validasi Jadi Sumber Kecemasan.
Teori ini memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi luar biasa untuk berkembang dan mencari makna hidup.
▪︎ Studi Kasus:
Banyak anak muda merasa cemas jika unggahan mereka di media sosial tidak mendapat cukup “like” atau komentar.
Menurut pendekatan humanistik, kita butuh pengakuan dan aktualisasi diri. Namun, jika nilai diri hanya bergantung pada validasi luar, kita akan rentan terhadap tekanan dan kecemasan sosial. Komunikasi seharusnya juga terjadi ke dalam, bukan hanya ke luar.
Komunikasi adalah cermin jiwa. Ketika seseorang sulit memahami orang lain, mungkin ia belum selesai memahami dirinya sendiri. Dengan mengenali empat teori psikologi ini—psikoanalisis, behaviorisme, kognitif, dan humanistik—kita akan lebih sadar bahwa komunikasi itu kompleks, tetapi bukan mustahil untuk diperbaiki.
Mulailah dari memahami, bukan menghakimi. Dan jangan lupa, komunikasi terbaik dimulai dari diri sendiri.