Ada momen dalam hidup ketika kita merasa sudah menerima keadaan dengan baik. Hati terasa tenang, pikiran merasa kuat, bahkan kita yakin sudah melangkah ke babak baru. Namun, tubuh ternyata berkata lain. Alih-alih menangis atau merasa pilu, tubuh justru memberi tanda lewat pusing, mual, lemas, atau bahkan demam ringan.
Fenomena ini sering dikenal sebagai reaksi psikosomatis. Artinya, emosi yang tidak tersalurkan dengan cara biasa, seperti menangis atau meluapkan kesedihan kadang “mencari jalan lain” melalui tubuh.
Mengapa Tubuh yang Bereaksi?
Tubuh dan pikiran memiliki hubungan yang sangat erat. Ketika ada perasaan yang sebenarnya berat namun ditahan atau tidak diekspresikan, sistem saraf bisa menyalurkan beban itu lewat sinyal fisik. Inilah sebabnya kita bisa sakit kepala, susah tidur, atau gampang lelah meskipun hati merasa “baik-baik saja”.
Bahkan, ada orang yang berusaha memancing air mata dengan menonton film sedih atau mendengar lagu tertentu, berharap bisa “melepaskan” emosi yang tertahan. Namun, air mata tak juga keluar. Itu bukan berarti ia tidak benar-benar merasa, melainkan tubuh sedang menyalurkan emosi dengan cara berbeda.
Apakah Wajar Tidak Menangis?
Sangat wajar. Tidak semua orang meluapkan kesedihan dengan cara yang sama. Ada yang menangis deras, ada yang diam, ada yang justru sibuk dengan aktivitas agar tak larut dalam perasaan. Ketiadaan air mata tidak berarti seseorang tidak berduka atau tidak tulus merasakan sesuatu.
Kadang, tubuh lebih memilih diam lalu “bicara” melalui gejala fisik. Itu bagian dari mekanisme pertahanan diri.
Bagaimana Mengelolanya?
Jika tubuh mulai memberi tanda, ada beberapa langkah sederhana yang bisa membantu:
Menulis: curahkan perasaan di kertas, meski tidak untuk dibaca orang lain.
Doa atau meditasi: mengubah emosi menjadi energi doa bisa menjadi bentuk pelepasan.
Aktivitas fisik ringan: berjalan, berolahraga ringan, atau sekadar menghirup udara segar bisa membantu tubuh “mengurai” ketegangan.
Dukungan sosial: bercerita pada sahabat atau orang yang dipercaya sering kali lebih ampuh daripada memendam sendiri.
Jika keluhan fisik terus berulang atau mengganggu aktivitas, berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater adalah langkah bijak.
Menutup Bab, Membuka Bab Baru
Pada akhirnya, tubuh dan hati sama-sama butuh ruang untuk merasa. Tidak ada cara yang “paling benar” untuk melepas emosi. Menangis bukan satu-satunya tanda kesedihan, dan tidak menangis bukan berarti kita kebal rasa. Yang terpenting adalah memberi diri sendiri izin untuk merasakan, dan perlahan belajar melangkah ke bab baru.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”