Setahun pemerintahan Presiden Prabowo menjadi momentum penting dalam perjalanan politik dan manajerial bangsa. Pemerintahan ini berlari cepat di tengah arus revolusi digital yang terus mengubah wajah birokrasi, ekonomi, dan pertahanan nasional. Dari penerapan kecerdasan buatan dalam sistem pertahanan, optimalisasi big data dalam pengawasan kebijakan, hingga program efisiensi birokrasi berbasis teknologi, arah kepemimpinan nasional kini ditandai oleh semangat modernisasi dan percepatan.
Namun di balik laju digitalisasi itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah kemajuan teknologi yang dikelola negara juga berorientasi pada nilai kemanusiaan? Apakah kebijakan publik yang makin otomatis dan efisien itu tetap berpihak pada rakyat sebagai manusia, bukan sekadar data statistik? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada diskusi yang lebih dalam: bagaimana wujud kepemimpinan yang humanistik di era digital seperti sekarang?
Paradoks Digital dan Tantangan Kepemimpinan
Era digital membawa efisiensi luar biasa, tetapi juga menimbulkan paradoks baru. Ketika keputusan politik dan ekonomi makin ditopang oleh algoritma dan kecerdasan buatan, tanggung jawab moral pemimpin justru menghadapi ujian. Di satu sisi, teknologi memudahkan pemimpin mengontrol, memantau, dan merencanakan kebijakan. Namun di sisi lain, terlalu bergantung pada data dapat menumpulkan empati dan mengaburkan nurani.
Inilah yang disebut para ahli sebagai dehumanisasi digital—ketika manusia dipandang bukan sebagai subjek bermartabat, melainkan sekadar objek produktif dalam sistem yang rasional dan efisien. Dalam konteks kepemimpinan, bahaya dehumanisasi muncul ketika rakyat hanya dilihat sebagai angka dalam laporan makroekonomi, bukan sebagai manusia dengan nilai, kebutuhan, dan perasaan.
Presiden Prabowo dalam satu tahun kepemimpinannya menunjukkan gaya yang tegas, cepat, dan penuh visi nasionalisme. Namun di era digital, ketegasan saja tidak cukup. Diperlukan kebijaksanaan etis untuk menyeimbangkan antara smart governance dan wise leadership—antara kecerdasan sistem dan kebijaksanaan moral.
Dalam teori manajemen modern, pendekatan yang disebut Humanistic Digital Management (HDMM) menawarkan kerangka baru bagi kepemimpinan nasional di era teknologi. Paradigma ini berpijak pada tiga pilar utama: kepemimpinan etis, etika digital, dan budaya humanistik.
Pertama, kepemimpinan etis menempatkan pemimpin sebagai agen moral. Keputusan diambil bukan semata berdasarkan rasionalitas ekonomi, tetapi juga nilai keadilan dan kemanusiaan. Dalam konteks pemerintahan, ini berarti setiap kebijakan publik harus mengutamakan kesejahteraan manusia di atas kepentingan politik jangka pendek.
Kedua, etika digital berfungsi sebagai pagar moral bagi inovasi teknologi. Pemerintah yang memanfaatkan big data, kecerdasan buatan, atau pengawasan digital wajib menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan privasi warga. Tanpa etika, digitalisasi bisa berubah menjadi bentuk baru otoritarianisme berbasis data—di mana rakyat dipantau tanpa ruang privasi dan keputusan diambil tanpa dialog moral.
Ketiga, budaya humanistik dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi fondasi penting. Birokrasi yang sehat bukan hanya yang cepat dan efisien, tetapi yang menghormati martabat pegawainya dan melayani masyarakat dengan empati. Di sinilah kepemimpinan humanistik diuji: apakah struktur pemerintahan mampu menciptakan lingkungan kerja yang berkeadaban, atau justru terjebak dalam mekanisme mekanistik yang menekan dimensi manusiawi?
Dari sudut filsafat ilmu, paradigma kepemimpinan humanistik dapat dipahami melalui tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Secara ontologis, manusia dalam konteks pemerintahan digital bukan sekadar sumber daya pembangunan, tetapi subjek moral yang memiliki martabat. Negara, karena itu, harus memperlakukan rakyat bukan sebagai instrumen kebijakan, melainkan sebagai tujuan akhir kebijakan itu sendiri.
Secara epistemologis, kebijakan publik yang efektif tidak hanya lahir dari data dan algoritma, tetapi juga dari kebijaksanaan yang bersumber pada pengalaman, empati, dan dialog sosial. Pemerintah yang hanya mengandalkan data besar (big data) tanpa big wisdom akan kehilangan arah moral dalam pengambilan keputusan. Sementara secara aksiologis, tujuan dari kepemimpinan nasional adalah kebaikan bersama (common good). Dalam konteks Prabowo, visi besar tentang kedaulatan pangan, pertahanan nasional, dan kemandirian ekonomi harus tetap berakar pada nilai kemanusiaan: bagaimana kebijakan itu benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memperkuat struktur kekuasaan.
Setahun Refleksi: Dari Efisiensi ke Empati
Setahun pemerintahan Prabowo adalah momentum refleksi untuk menilai apakah arah kepemimpinannya telah bergerak dari efisiensi ke empati. Dalam berbagai pidato, Presiden kerap menekankan pentingnya disiplin, loyalitas, dan nasionalisme. Nilai-nilai itu memang menjadi pilar penting kepemimpinan strategis. Namun dalam konteks manajemen humanistik, diperlukan tambahan dimensi: empati moral.
Empati bukan kelemahan dalam kepemimpinan, melainkan bentuk tertinggi dari kekuatan moral. Ia menjadi jembatan antara kekuasaan dan kemanusiaan, antara kebijakan dan hati rakyat. Dalam dunia yang semakin digital, empati justru menjadi pembeda utama antara pemimpin sejati dan sistem yang dingin tanpa jiwa.
Kepemimpinan yang humanistik tidak berarti lemah terhadap teknologi, tetapi justru mampu menundukkan teknologi di bawah nilai-nilai moral. Seperti kata filsuf Michael Sandel, “Tidak semua yang bisa dijual seharusnya dijual.” Dalam konteks kepemimpinan nasional, tidak semua yang bisa didigitalisasi seharusnya dilakukan—terutama bila itu mengorbankan nilai manusia dan kebebasan sosial.
Setahun Prabowo memimpin adalah tahun pembelajaran besar bagi bangsa. Pemerintahan ini telah menunjukkan arah baru: cepat, tegas, dan berbasis data. Namun, agar visi itu menjadi berkelanjutan, dibutuhkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar efisiensi: yaitu kebijaksanaan moral.
Indonesia tidak hanya membutuhkan smart government, tetapi juga wise leadership. Kepemimpinan yang memadukan rasionalitas teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kepemimpinan yang memahami bahwa di balik setiap angka statistik ada wajah manusia, di balik setiap kebijakan ada nilai moral, dan di balik setiap kemajuan digital ada tanggung jawab etis.
Di abad algoritma ini, teknologi memang mempercepat segalanya tapi hanya moralitas yang mampu memberi arah. Dan di situlah tantangan terbesar Presiden Prabowo: bukan sekadar memimpin dengan kekuatan, tetapi memimpin dengan kebijaksanaan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”































































