Kasus kematian seorang siswi MTs di Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mengguncang publik. Seorang siswi berinisial AK (14 tahun) ditemukan meninggal dunia di rumahnya pada Selasa malam, 28 Oktober 2025. Peristiwa inibukan hanya menyisakan duka, tetapi juga menyoroti kembali isu serius tentang perundungan (bullying) dan tekanan emosional di lingkungan sekolah.
Meskipun pihak sekolah menyatakan belum menemukan indikasi resmi adanya perundungan, isi surat yang diduga ditulis oleh korban menunjukkan bahwa ia merasa tertekanoleh perlakuan teman-temannya di sekolah. Surat itu menggambarkan betapa berat beban emosional yang iarasakan hingga akhirnya memilih jalan tragis.
“Eneng sudah capek, Eneng cuma ingin ketenangan.”tulisnya dalam surat yang ditemukan setelah kejadian. Kalimat itu bukan sekadar keluhan, tapi tanda bahwa ada hatiyang lelah dan tak sempat ditenangkan.
Respon Sekolah dan Pemerintah
Kepala MTsN 3 Cikembar, Wawan Setiawan, menyebut belum ada bukti kuat bahwa AK mengalami perundungan secara langsung di sekolah. Menurutnya, pihak sekolah telah berupaya menangani persoalan antar siswa yang sempat terjadi, termasuk melalui guru bimbingan dan konseling (BK).
Namun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sukabumi tetap turun tangan. Mereka menegaskan pentingnya investigasi mendalam dan penguatan sistem pencegahan bullying di sekolah-sekolah. DP3A juga menyatakan akan memperluas sosialisasi program Sekolah Ramah Anak dan memperkuat fungsi konseling bagi siswa yang mengalami tekanan emosional atau kekerasanverbal.
Pendidikan Bukan Sekadar Nilai dan Prestasi
Kasus ini mempertegas bahwa ruh pendidikan bukan hanyasoal angka, ujian, dan prestasi, tetapi juga tentang bagaimana sekolah mampu menjadi tempat yang aman dan menumbuhkan kesehatan mental siswa. Ketika seorang anak merasa terisolasi, disindir, atau diasingkan tanpa tempat untuk bercerita, di situlah sistem pendidikan kehilangan jiwanya.
Kita sering kali fokus pada peraturan, disiplin, atau capaian akademik, tapi melupakan aspek emosional yang justru menjadi fondasi kenyamanan belajar. Jika siswa tidak merasaaman, maka sekolah gagal menjalankan fungsinya sebagai ruang tumbuh dan belajar yang sehat.
Langkah Nyata untuk Mencegah Kasus Bullying di Sekolah
1.Membangun Budaya Sekolah yang Empatik
Sekolah perlu menjadi ruang yang tidak hanya mendidik, tetapi juga menumbuhkan empati. Melalui kegiatan reflektif, pelatihan karakter, dan diskusi kelas yang terbuka, siswadapat belajar memahami perasaan orang lain. Penting bagi setiap anak untuk menyadari bahwa kata-kata bisa menjadi sumber kebaikan, namun juga dapat melukai.
2.Memperkuat Peran Guru dan Bimbingan Konseling (BK)
Guru memiliki peran penting, bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pengamat kondisi emosional siswa. Guru BK dan wali kelas perlu dibekali kemampuan untuk mengenali tanda-tanda tekanan psikologis, seperti perubahan perilaku, penurunan semangat belajar, atau kecenderungan menarik diri. Langkah cepat dalam memberikan pendampingan dapat mencegah masalah berkembang lebihjauh.
3.Menjalin Kolaborasi antara Sekolah dan Orang Tua
Orang tua perlu menjalin komunikasi rutin dengan pihak sekolah, bukan hanya saat pembagian rapor. Jika anak menunjukkan perubahan perilaku seperti enggan berangkat sekolah, sering menangis, atau menjadi lebih pendiam hal itu perlu segera ditindak lanjuti bersama. Kolaborasi yang baik akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang amandan suportif.
4.Menyediakan Ruang Nyata untuk Siswa Bercerita
Banyak sekolah belum memiliki psikolog tetap, tapi itu bukan alasan untuk menutup ruang curhat bagi siswa. Sekolah bisamulai dengan membuat pojok konseling, seperti sesi “ngobrol bareng wali kelas atau guru BK” setiap minggu. Yang penting, siswa merasa aman untuk jujur tentang apa yang merekaalami tanpa takut dihakimi atau dimarahi.
5.Sistem Anti-Bullying yang Bukan Sekadar Slogan
Banyak sekolah sudah punya spanduk “Stop Bullying”, tapi berhenti di situ saja. Padahal, sistemnya harus benar-benar jalan: guru dan siswa perlu tahu ke mana harus melapor, siapayang menindaklanjuti, dan seperti apa sanksinya. Pelaku pun harus dibimbing, bukan hanya dihukum. Karena tujuannya bukan mempermalukan, tapi membuat mereka sadar bahwa setiap tindakan punya konsekuensi.
Penutup
Kasus perundungan di Sukabumi bukan sekadar kisah duka satu anak. Ini adalah alarm bagi dunia pendidikan bahwa tekanan emosional di sekolah bisa berujung fatal jika tidak ditangani dengan empati dan sistem yang benar-benar kuat.
Ketika seorang siswa menulis, “Aku hanya ingin ketenangan,” itu bukan sekadar keluhan melainkan jeritan yang tak sempat terdengar. Sebuah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dengancara kita mendengar dan memahami anak-anak di lingkungan sekolah. Sudah saatnya sekolah menjadi ruang yang benar-benar aman: tempat di mana setiap anak merasa diterima, dihargai, dan didengarkan bukan dihakimi, apalagi diabaikan. Karena di balik setiap senyum murid, bisa saja tersembunyi luka yang hanya butuh sedikit kepedulian untuk sembuh.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”






































































