Kasus dugaan bullying yang terjadi di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat keras bahwa perundungan bukan sekadar konflik kecil antar siswa, melainkan persoalan serius yang dapat mendorong seseorang pada tindakan ekstrem. Peristiwa ini membuka mata publik bahwa lingkungan sekolah masih memiliki celah besar dalam melindungi peserta didik, terutama mereka yang mengalami tekanan psikologis akibat kekerasan verbal, sosial, maupun fisik. Kejadian ini bukan sekadar kegagalan perilaku individu, tetapi mencerminkan lemahnya sistem sekolah dalam memastikan keamanan, dukungan emosional, dan kesejahteraan siswa. Reaksi publik yang terkejut menyaksikan tindakan ekstrem yang dilakukan siswa di bawah umur menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam ekosistem pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mereka.
Jika ditelaah lebih dalam, kasus ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi dari beberapa faktor yang saling terkait. Tidak adanya sistem pelaporan yang aman dan rahasia membuat korban takut melapor karena risiko intimidasi atau stigma sosial. Selain itu, kurangnya kepekaan guru BK dan pihak sekolah terhadap perubahan perilaku siswa seperti menarik diri, perubahan emosi, atau penurunan prestasi membuat tanda awal bullying sering kali diabaikan. Normalisasi bullying sebagai candaan atau kenakalan remaja memperburuk budaya sekolah, terlebih ketika tidak didukung pendampingan psikologis yang memadai maupun pendidikan karakter berbasis empati. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sekolah bukan hanya gagal dalam pencegahan, tetapi juga gagal membangun kultur pendidikan yang memanusiakan peserta didik.
Kasus ini juga menunjukkan pola yang sama dengan berbagai peristiwa serupa di Indonesia, seperti kasus bunuh diri siswa SMP di Tasikmalaya serta kekerasan senior-junior di sekolah kedinasan yang sebelumnya viral. Dalam kasus-kasus tersebut, korban merasa takut melapor, sekolah bergerak lambat, dan tindakan baru dilakukan setelah muncul tragedi. Hal ini membuktikan bahwa bullying bukan persoalan kasuistik, melainkan masalah sistemik yang terus berulang akibat lemahnya mekanisme kontrol dan keberpihakan terhadap korban.
Menurut saya, dalam situasi seperti ini negara memiliki peran penting dan tidak boleh hanya menjadi penonton. Pemerintah perlu memastikan regulasi anti-kekerasan berjalan secara nyata di sekolah, bukan sebatas dokumen administrasi. Selain itu, pengawasan terhadap akses digital siswa perlu diperketat karena konten negatif dapat memicu perilaku agresif atau memperburuk kondisi psikologis pelajar. Literasi digital, layanan konseling, kehadiran psikolog di sekolah, serta pendidikan empati harus menjadi fondasi utama, bukan pelengkap yang mudah diabaikan. Selama budaya pendidikan masih meremehkan perundungan dan menganggapnya bagian dari “dinamika sekolah”, kasus serupa akan terus terjadi dan hanya berhenti ketika semua pihak—sekolah, orang tua, masyarakat, dan negara—benar-benar mengutamakan keselamatan mental dan fisik peserta didik sebagai prioritas utama.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































