Trauma sering dipahami sebagai pengalaman buruk yang sulit dilupakan. Namun, di balik itu semua, ada proses biologis yang bekerja di otak kita. Salah satu bagian otak yang paling berperan adalah amygdala, yaitu struktur kecil berbentuk almond yang berkaitan dengan emosi, terutama rasa takut dan ancaman. Melihat trauma dari sudut pandang biopsikologi membantu kita memahami kenapa pengalaman tertentu bisa membekas begitu kuat, dan kenapa penyembuhan tidak semudah “melupakan”.
Amygdala berada di dalam sistem limbik, sistem yang mengatur emosi dan reaksi otomatis tubuh. Ketika seseorang mengalami sesuatu yang menakutkan atau menyakitkan, amygdala langsung aktif. Aktivasi ini memicu respons cepat seperti detak jantung naik, napas lebih cepat, dan tubuh menjadi tegang. Ini adalah mekanisme bertahan hidup alami. Masalahnya, jika peristiwa itu terlalu ekstrem atau terjadi berulang-ulang, respons amygdala bisa “terkunci” pada mode siaga. Itulah yang sering terjadi pada trauma.
Biasanya, amygdala bekerja bersama dua bagian otak lain, yaitu hippocampus dan prefrontal cortex. Hippocampus membantu menyimpan memori dalam urutan waktu dan konteks, sedangkan prefrontal cortex membantu kita mengambil keputusan dengan logis. Ketika kejadian traumatis terjadi, hubungan di antara ketiga bagian ini jadi tidak seimbang. Amygdala aktif berlebihan, hippocampus kewalahan, dan prefrontal cortex melemah. Akibatnya, memori traumatis tersimpan dalam bentuk potongan-potongan sensasi, suara, atau perasaan, bukan dalam bentuk cerita lengkap yang utuh. Inilah alasan mengapa flashback atau mimpi buruk terasa begitu nyata.
Fenomena ini juga dapat dilihat dalam karya seni atau musik yang membahas masa lalu atau trauma pribadi. Salah satu contohnya adalah lagu “Amygdala” dari Agust D (Suga, BTS). Di lagu itu, ia menggambarkan beban emosional dan ketakutan-ketakutan yang terbentuk sejak kecil, seperti luka keluarga dan rasa bersalah. Walaupun lagu tersebut tidak menjelaskan amygdala secara ilmiah, Agust D menggunakan amygdala sebagai simbol dari ketakutan dan memori emosional yang sulit diurai. Hal ini sebenarnya sangat selaras dengan konsep biopsikologi mengenai amygdala yang memang menjadi pusat ingatan emosional yang intens.
Pemahaman ini sangat berpengaruh dalam terapi trauma. Beberapa pendekatan seperti terapi paparan, CBT, atau EMDR berusaha membantu otak memproses ulang memori emosional. Terapi tidak menghapus memori traumatis, tetapi membantu menurunkan reaksi emosionalnya dengan memperkuat kembali hubungan antara prefrontal cortex dan hippocampus. Dalam proses ini, memori traumatis “ditulis ulang” dengan cara yang lebih stabil sehingga seseorang bisa mengingatnya tanpa panik atau takut berlebihan. Secara biologis, ini disebut rekonsolidasi memori.
Dari sudut pandang biopsikologi, trauma bukan akhir dari segalanya. Otak manusia memiliki kemampuan neuroplastisitas, yaitu kemampuan untuk berubah dan beradaptasi. Dengan dukungan yang tepat seperti, terapi, lingkungan aman, hubungan yang hangat, dan kesadaran diri, amygdala bisa belajar bahwa ancaman tersebut sudah berlalu. Proses ini tidak cepat, tetapi bukan berarti mustahil. Banyak penelitian menunjukkan bahwa penyembuhan trauma melibatkan proses membangun makna baru, bukan sekadar menghapus pengalaman lama.
Pada akhirnya, memahami peran amygdala dalam trauma membuat kita bisa melihat pengalaman emosional dari sudut yang lebih manusiawi. Trauma bukan sekadar hal yang “terjadi di masa lalu”, tetapi efeknya masih tersimpan dalam cara otak merespons hal-hal di sekitar kita. Meski begitu, otak manusia punya kemampuan untuk berubah.
Referensi:
American Psychological Association. (2020). Trauma and PTSD.
Agust D. (2023). Amygdala [Song]. In D-Day.
Liberzon, I., & Sripada, C. S. (2007). The functional neuroanatomy of PTSD: A critical review. Neuropsychologia, 167, 151–169.
Phelps, E. A., & LeDoux, J. E. (2005). Contributions of the amygdala to emotion processing: Implications for psychopathology. Neuron, 48(2), 175–187.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































