Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, gula telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari makanan yang kita konsumsi bahkan telah menjadi sesuatu yang biasa dan luput dari perhatian banyak orang. Hampir semua makanan cepat saji, minuman berperisa, dan juga snack ringan menjadikan gula sebagai bagian penting dari komposisinya. Rasa manis yang terkandung pada makanan dan minuman tersebut akan memberikan kenikmatan yang sementara, sampai kita pun tidak menyadari seberapa banyak gula yang masuk ke dalam tubuh kita. Sehingga hal itu memicu berbagai masalah kesehatan, seperti obesitas, diabetes tipe 2, dan juga gangguan metabolik yang lainnya. Bahkan hal tersebut dapat mempengaruhi kinerja otak dan juga perilaku yang pada akhirnya akan menimbulkan perhatian khusus terkait potensi munculnya perilaku adiktif. Salah satu fenomena yang sering kali dibahas adalah sugar rush, kondisi dimana tubuh kita merespons masuknya gula secara cepat dan mengakibatkan lonjakan energi dan rasa senang.
Sugar rush sendiri merupakan kondisi dimana tubuh seseorang lebih berenergi, lebih bersemangat, bahkan lebih bahagia setelah mengkonsumsi makanan manis. Fenomena ini berawal dari perubahan kadar glukosa yang ada di dalam darah. Ketika kita mengkonsumsi makanan yang mengandung gula sederhana seperti glukosa dan fruktosa, tubuh kita akan meresponsnya secara cepat. Dalam waktu yang sangat singkat itulah, kadar gula yang ada di dalam darah melonjak dan tubuh akan meresponnya dengan melepaskan insulin untuk menstabilkannya.
Pada saat yang bersamaan, otak juga akan merespons lonjakan ini. Gula akan memicu sistem reward yaitu saraf yang berperan dalam mengatur perasaan bahagia dan juga motivasi. Hal yang menarik dari sistem reward ini sendiri yaitu dia bekerja melalui neurotransmitter dopamin serta zat kimia yang terlibat dalam adiksi, seperti nikotin, alkohol, dan kokain. Inilah penyebab mengapa rasa senang akibat mengkonsumsi gula terasa lebih kuat walaupun hanya sementara.
Selain itu, efek yang ditimbulkan dari fenomena ini tidak akan bertahan lama. Dan apabila kadar gula darah menurun hal itu akan menyebabkan energi yang dimiliki juga akan menurun. Beberapa orang juga merasa akan lebih lelah ataupun sulit berkonsentrasi akibat efek yang diberikan di awal itu menghilang. Istilah ini dikenal dengan sugar crush, dimana seseorang akan mencari “dorongan” untuk mengembalikan rasa nyaman yang menghilang. Dari sinilah siklus konsumsi gula secara berulang mulai terbentuk.
Bagaimana Gula Mengubah Sistem Reward pada Otak?
Otak manusia manusia disusun untuk mencari dan menghargai segala sesuatu yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya, contohnya seperti makan. Di era evolusioner, rasa manis itu akan memberikan sinyal kepada tubuh kita bahwa makanan tersebut kaya akan energi dan aman untuk dikonsumsi. namun , di era globalisasi seperti saat ini hal itu menjadi berbanding terbalik dengan sebelumnya. Dimana sinyal tersebut justru menimbulkan masalah bagi tubuh kita, karena gula yang tersedia jauh lebih banyak dari pada yang sebelumnya.
Ketika gula tersebut masuk ke dalam tubuh, dopamin akan dilepaskan di nucleus accumbens yaitu bagian otak yang memainkan peran dalam sistem penghargaan, motivasi, dan juga kesenangan. Aspek yang menjadi fokus utama yaitu apabila sistem reward ini sering di aktifkan akan menyebabkan reseptor dopamin mengalami pengurangan jumlah atau kurang peka terhadap dopamin. Hal ini mengakibatkan seseorang akan mengkonsumsi lebih banyak gula agar mendapatkan rasa senang atau kepuasan yang sama. Peristiwa ini dikenal dengan istilah toleransi.
Apabila perilaku tersebut dibiarkan terus menerus, toleransi terhadap gula akan mengakibatkan pola perilaku seperti kecanduan. Seseorang akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan dorongan terhadap konsumsi makanan dan minuman manis, bahkan ketika seseorang tersebut sadar bahwa kebiasaan tersebut tidak baik. Sepertinya hal tersebut terdengar sangat sepele namun, ada banyak perkara yang justru akan membuat seseorang merasa kesusahan dalam menghentikan konsumsi gula. Alasan tersebut bukan hanya karena selera saja, tetapi dikarenakan otaknya sudah terbiasa menerima rangsangan dari dopamin gula yang berlebihan agar merasa puas.
Pengaruh Konsumsi Gula terhadap Kognitif
Dampak akibat mengkonsumsi gula secara berlebihan terhadap otak bukan hanya akan mempengaruhi sistem reward saja, tetapi juga akan berdampak pada kemampuan berpikir, mengambil keputusan, dan mengendalikan impuls. Aktivasi sistem reward yang terlalu sering akan membuat seseorang memusatkan perhatiannya pada kepuasan jangka pendek saja, sehingga mereka akan kesulitan untuk menahan tidak mengkonsumsi makanan manis. Sedangkan efek jangka panjang yang ditimbulkan yaitu akan mengganggu kemampuan otak dalam merencanakan tindakan juga mengambil keputusan yang logis.
Selain itu, diet tinggi gula akan mempengaruhi proses dalam pembentukan memori. Dimana bagian otak kita yang dikenal dengan hippocampus atau bagian otak yang berfungsi untuk penyimpanan memori jangka panjang akan terganggu apabila terlalu sering terkena makanan ataupun minuman dengan kadar gula yang tinggi. Dampaknya seseorang akan kesulitan untuk berkonsentrasi, penurunan kemampuan belajar, hingga gangguan kognitif yang ringan.
Pada kondisi tertentu, hal ini juga akan mengakibatkan peradangan pada otak. Peradangan ini dapat berkaitan dengan peningkatan suasana hati atau mood, gangguan kecemasan, dan juga risiko depresi yang lebih tinggi. Dengan demikian, dampak yang ditimbulkan dari mengkonsumsi gula tidak hanya pada fisik saja, tetapi juga akan berdampak pada emosional dan juga mental seseorang.
Dampak Psikologis dan Perilaku
Hampir setiap orang menggunakan makanan manis sebagai salah satu cara untuk mengatasi stress ataupun memperbaiki suasana hati yang sedang buruk. Sensasi nyaman yang timbul setelah mengkonsumsi gula memang dapat membantu untuk meredakan emosi sementara waktu, tetapi efek ini akan cepat hilang. Ketika rasa nyaman itu perlahan menghilang, tubuh akan menginginkannya kembali, sehingga seseorang akan cenderung mengulang perilaku tersebut.
Sayangnya, pola mengkonsumsi gula ini dapat menimbulkan rasa bersalah. Ketika seseorang mencoba untuk membatasi konsumsi gula mungkin individu tersebut merasa gagal apabila tidak dapat mengontrol dirinya. Perasaan bersalah inilah yang kemudian akan memperburuk kondisi ketika stress. Dampak psikologis lainnya yaitu perubahan suasana hati. Ketika efek sugar crush menyerang tubuh seseorang, orang tersebut akan merasa mudah marah, cepat lelah, bahkan kesulitan untuk fokus. Dalam jangka panjang kondisi ini dapat mempengaruhi hubungan sosial, produktivitas, dan juga kualitas hidup seseorang.
Dampak Sosial dan Kesehatan
Industri makanan memiliki peran yang sangat besar dalam meningkatnya konsumsi gula melalui produk tinggi gula yang menarik perhatian masyarakat, terutama bagi anak-anak dan juga remaja. Banyak makanan yang terlihat sehat namun mengandung gula yang tersembunyi dan akan meningkatkan risiko konsumsi yang berlebihan.
Adiksi gula menjadi isu yang sangat penting. Pola konsumsi yang berlebihan akan menurunkan fungsi pada otak, kelelahan, dan perubahan suasana hati. Upaya untuk mengurangi konsumsi gula dapat dilakukan dengan pembatasan iklan maupun edukasi konsumsi gizi, tetapi kesadaran tiap individu tetap akan menjadi kunci utama dalam perubahan perilaku tersebut.
Kesimpulan
Fenomena sugar rush bukan sekadar sensasi yang bisa datang dan pergi. Di balik rasa manis yang menyenangkan, terdapat proses biologis yang mempengaruhi sistem reward otak, fungsi kognitif, dan juga kesehatan psikologis. Apabila dikonsumsi secara berlebihan, gula dapat membentuk pola konsumsi yang menyerupai adiksi serta dapat menimbulkan dampak jangka panjang pada kesehatan tubuh.
Dengan memahami bagaimana cara kerja gula di dalam tubuh dan otak, seseorang dapat lebih bijak dalam memilih makanan untuk dikonsumsi. Dan pada akhirnya, gula bukan sekadar menjadi pemanis yang ada di dalam kandungan makanan, tetapi zat yang memiliki dampak yang sangat luas terhadap kesehatan fisik, mental, juga perubahan perilaku seseorang.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































