Banyu Biru tidak sekadar dikenal sebagai tempat pemandian alami di Pasuruan. Di balik airnya yang tampak tenang dan berwarna biru, tersimpan cerita rakyat yang hidup dan terus diwariskan oleh masyarakat sekitar. Cerita ini bukan hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat dalam memaknai alam, sejarah, dan hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap sakral.
Dahulu, tempat ini dikenal sebagai Telaga Wilis. Keunikan warna airnya yang kebiruan membuat masyarakat perlahan menyebutnya sebagai Banyu Biru. Namun yang membuatnya istimewa bukan sekadar tampilan fisiknya, melainkan berbagai kisah yang menyertainya, terutama tentang dua prajurit Majapahit, Tombro dan Kabut.
Dalam cerita yang berkembang, dua prajurit tersebut menyingkir dari Kerajaan Majapahit akibat konflik dan perubahan besar dalam tatanan budaya dan kepercayaan. Mereka kemudian menetap di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Sumberejo. Tombro menjalani hidup sebagai petani dan peternak kerbau, sedangkan Kabut dikenal sebagai pembuat pusaka dan keris.
Suatu hari, kerbau milik Tombro terjebak di kubangan berlumpur di tengah hutan. Setelah berhasil ditolong, kubangan itu perlahan berubah menjadi kolam air jernih berwarna kebiruan. Di dalamnya ditemukan ikan-ikan besar yang disebut ikan Sengkaring. Seiring waktu, lahirlah kepercayaan bahwa ikan tersebut merupakan jelmaan prajurit Majapahit yang dikutuk dan karenanya tidak boleh diganggu.
Kepercayaan ini tidak berdiri sendiri, melainkan tumbuh bersama realitas sosial masyarakat. Larangan mengganggu ikan, menjaga sikap ketika berada di sekitar telaga, hingga anggapan bahwa tempat ini keramat menunjukkan bagaimana mitos berfungsi sebagai pengatur perilaku. Masyarakat tidak lagi melihat Banyu Biru semata sebagai sumber air, tetapi sebagai ruang yang harus dihormati.
Jika ditelaah lebih jauh, folklor Banyu Biru mengandung gagasan penting tentang hubungan manusia dengan alam. Munculnya telaga dari kubangan kerbau dapat ditafsirkan sebagai simbol bahwa alam memiliki kekuatan untuk memberi kehidupan sekaligus menuntut penghormatan. Di sini, air bukan sekadar unsur alam, melainkan lambang kesucian dan keberkahan.
Cerita tentang prajurit yang menjelma menjadi ikan juga dapat dibaca sebagai bentuk kontrol sosial. Mitos tersebut secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan. Ketakutan terhadap kutukan justru menciptakan kesadaran kolektif untuk menjaga kelestarian telaga.
Menariknya, keberadaan arca Kala di sekitar kawasan Banyu Biru semakin menguatkan dugaan bahwa tempat ini memiliki fungsi sakral di masa lalu, kemungkinan sebagai petirtaan atau tempat penyucian diri pada masa Hindu-Buddha. Hal ini menunjukkan bahwa Banyu Biru tidak hanya berada dalam ruang mitologis, tetapi juga memiliki jejak historis yang nyata.
Dari sini dapat dipahami bahwa folklor Banyu Biru bukan semata dongeng masa lalu, melainkan cermin cara masyarakat membangun makna atas lingkungannya. Tradisi lisan ini bekerja sebagai pengingat kolektif, sekaligus sebagai sarana pendidikan moral yang menanamkan rasa hormat terhadap alam dan sejarah leluhur.
Di tengah modernisasi yang kerap mereduksi nilai-nilai tradisi, cerita tentang Banyu Biru justru menunjukkan bahwa mitos masih memiliki peran penting. Ia menjaga identitas lokal, membentuk etika sosial, serta mengajarkan bahwa alam bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan ruang hidup yang perlu dihargai.
Dengan demikian, Banyu Biru tidak hanya layak dipandang sebagai destinasi wisata, tetapi juga sebagai ruang budaya yang merekam interaksi antara manusia, alam, dan kepercayaan. Di sanalah folklor bekerja: menghubungkan masa lalu dengan masa kini melalui cerita yang sarat makna dan refleksi.
Kontributor : Aulia Zian Nafisa
Narasumber : Masyarakat sekitar Banyu Biru dan pengamat budaya
Konteks : Asal-usul pemandian alam Banyu Biru
Lokasi : Desa Sumber Rejo, Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”


































































