Jakarta, 28 Oktober 2025- Persoalan antara penerapan hukum adat dan hukum pidana nasional kembali mengemuka setelah sejumlah kasus pidana di daerah diselesaikan melalui mekanisme adat tanpa melalui jalur peradilan formal. Fenomena ini memunculkan perdebatan mengenai batas kewenangan hukum adat dan posisi hukum pidana nasional dalam menjamin kepastian serta keadilan hukum di Indonesia.
Kasus di Lapangan: Antara Perdamaian dan Prosedur Hukum.
Di berbagai wilayah seperti Papua, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Timur, masyarakat adat kerap menyelesaikan kasus pencurian, penganiayaan ringan, atau perselisihan antarwarga melalui mekanisme adat. Proses penyelesaian dilakukan dengan cara pemberian kompensasi, ritual perdamaian, atau denda adat yang dianggap mampu memulihkan hubungan sosial.
Namun, aparat penegak hukum menghadapi dilema. Secara sosiologis, penyelesaian adat dinilai mencerminkan keadilan komunitas, tetapi secara yuridis, tindak pidana tetap harus diproses sesuai “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”
Peneliti isu-isu hukum dan keadilan sosial, “Dwi Wulan Romadhon, S.H.”, menilai bahwa persoalan ini menunjukkan masih adanya “kesenjangan sistemik” antara hukum yang hidup di masyarakat dan hukum negara.
“Negara sering kali menilai hukum adat hanya dari kacamata legal formal. Padahal bagi masyarakat adat, keadilan tidak selalu berarti hukuman, melainkan pemulihan hubungan sosial yang rusak,” ujar Dwi Wulan saat ditemui di Jakarta, Senin (27/10).
“Pengakuan Konstitusional terhadap Hukum Adat”
Secara konstitusional, hukum adat memiliki landasan kuat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip NKRI.
Selain itu, “Pasal 5 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman” menegaskan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
Namun, hingga kini belum ada pedoman yang jelas mengenai bagaimana hukum adat dapat diterapkan dalam ranah pidana secara konsisten dan terukur.
“Hukum Adat dalam KUHP Baru: Langkah Maju yang Perlu Pengawasan”
KUHP baru yang disahkan pada 2022 dan akan berlaku efektif pada 2026, melalui “Pasal 2 ayat (1)”, mengakui keberadaan “hukum yang hidup di masyarakat” sebagai dasar pemidanaan. Ini merupakan pengakuan formal terhadap eksistensi hukum adat di bidang pidana.
Meski begitu, “Dwi Wulan Romadhon” mengingatkan bahwa implementasi pasal tersebut berpotensi menimbulkan ketimpangan baru jika tidak disertai pedoman yang rinci.
“Pasal pengakuan hukum adat dalam KUHP baru adalah kemajuan, tetapi berisiko disalahgunakan jika tidak ada batasan yang tegas. Kita butuh mekanisme kontrol agar hukum adat tidak dijadikan alat legitimasi pelanggaran hak asasi manusia,” tegasnya.
“Dilema Aparat dan Kebutuhan Pedoman Nasional”
Di lapangan, aparat penegak hukum masih menghadapi kebingungan dalam menangani perkara yang telah diselesaikan secara adat. Di beberapa daerah, perdamaian adat dianggap menghapus proses pidana, sementara di daerah lain tetap dilanjutkan ke tahap penuntutan.
Akibatnya, muncul ketidakpastian hukum yang justru dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku maupun korban.
Pakar hukum pidana Universitas Airlangga, “Prof. Barda Nawawi Arief”, berpendapat bahwa pengakuan hukum adat perlu diiringi dengan “standar nasional penerapan hukum adat dalam sistem peradilan pidana”.
“Hukum adat harus menjadi pelengkap, bukan pengganti hukum pidana. Prinsip kesetaraan di depan hukum tetap harus dijaga,” ujarnya.
“Menyatukan Keadilan Lokal dan Kepastian Nasional”
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM disebut tengah menyiapkan pedoman penerapan hukum adat agar tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan kepastian hukum nasional.
Direktur Jenderal HAM, “Sri Wulandari”, menegaskan bahwa negara mendukung pengakuan hukum adat sejauh tidak mengorbankan hak-hak dasar warga negara.
“Kita ingin nilai-nilai adat hidup berdampingan dengan hukum nasional, tetapi dalam koridor HAM dan keadilan yang setara bagi semua,” katanya.
“Penutup”
Persoalan hukum adat dalam sistem hukum pidana Indonesia mencerminkan dinamika antara “keadilan komunitas dan kepastian hukum negara”. Ke depan, tantangan terbesar adalah menciptakan sistem yang mampu menyeimbangkan keduanya, agar hukum tidak sekadar menjadi teks undang-undang, tetapi juga cerminan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
“Tujuan akhir hukum bukan hanya menghukum, tetapi memulihkan keadilan sosial,” tutup “Dwi Wulan Romadhon, S.H.”
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































