Kabar wafatnya Paus Fransiskus di usia 88 tahun membuat terkejut umat Katolik di seluruh dunia. Tak hanya sekadar pemimpin spiritual Gereja Katolik, namun Paus Fransiskus merupakan simbol dari kemanusiaan, kesederhanaan, serta kekuatan komunikasi dari lintas agama dan lintas budaya. Dunia tidak hanya kehilangan sosok pengemuka agama, tetapi juga kehilangan salah satu komunikator moral paling berpengaruh di abad ini.
Paus Fransiskus selalu memberikan pesan yang tidak hanya berfokus pada umat Katolik saja, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Ia sering kali menggaungkan isu-isu keadilan sosial, kemiskinan, perubahan iklom, dan perdamaian dunia dengan menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami namun menyentuh. Ia selalu membawa semangat komunikasi yang terbuka, empatik, dan transformatif.
Berpulangnya Paus Fransiskus harus menjadi refleksi bagi para pemimpin dunia, tokoh agama, hingga media massa. Diperlukan keberlanjutan dari nilai-nilai komunikasi yang ia wariskan seperti, pemimpin agama dan publik harus mengedepankan komunikasi yang menyatukan, bukan memecah dalam artian tidak menimbulkan kekacauan antar umat beragama. Media global juga perlu menyoroti atau lebih memperbanyak pesan-pesan moral dan kemanusiaan daripada menyoroti isu yang bersifat kontroversi dan sensasi. Dialog lintas agama juga perlu diperluas dengan menggunakan prinsip empati, keterbukaan, dan kesetaraan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Paus Fransiskus dalam berbagai forum antaragama. Warisan terbesar Paus Fransiskus bukan hanya dokumen atau keputusan teologis, melainkan cara ia menyampaikan cinta kasih kepada dunia melalui komunikasi yang jujur, penuh makna, dan menyentuh hati.
Komunikasi Kemanusiaan sebagai Warisan Abadi
Dalam kajian teori komunikasi simbolik, komunikasi tidak hanya dipandang sebagai penyampaian informasi, tetapi juga sebagai cara untuk membentuk makna dan identitas sosial. Paus Fransiskus mampu membentuk makna yang universal dari ajaran-ajaran spiritualnya, membuatnya dapat diterima dengan baik bahkan oleh mereka yang bukan bagian dari Gereja Katolik.
Melalui gestur, gaya hidup yang sederhana, dan retorika moralnya, Paus Fransiskus dapat membentuk makna kolektif tentang nilai-nilai universal seperti cinta kasih, pengampunan, dan solidaritas. Ia berhasil menyampaikan pesan yang bersifat keagamaan dalam bentuk komunikasi publik yang inklusif dan menginspirasi. Tidak hanya berbicara kepada umat Katolik, tetapi kepada seluruh umat manusia, pesan-pesannya menembus sekat-sekat agama, ras, dan ideologi. Komunikasinya tidak didasarkan pada kekuasaan atau doktrin semata, melainkan pada kedalaman hati dan ketulusan nurani.
Kepekaannya terhadap isu-isu global, seperti krisis kemanusiaan, perubahan iklim, dan konflik lintas negara, menunjukkan bagaimana seorang pemimpin spiritual bisa memainkan peran penting dalam diplomasi moral dunia. Ia menggunakan panggung-panggung internasional bukan untuk menunjukkan otoritas agama, tetapi untuk memperjuangkan keadilan dan mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan.
Pidato-pidatonya di berbagai forum internasional tidak hanya bersifat religius, tetapi juga politis dalam arti yang positif—mendorong perubahan sosial dan keberpihakan kepada kaum marjinal. Dalam komunikasi massa, ia menjadi gatekeeper moral yang mampu membingkai isu-isu global dengan sudut pandang etis dan penuh welas asih.