Yogyakarta, 17 Desember 2025 — Pelecehan seksual di ruang publik masih menjadi persoalan sosial yang belum tertangani secara optimal. Salah satu bentuk yang paling sering terjadi adalah catcalling, yaitu tindakan pelecehan seksual verbal berupa siulan, komentar bernuansa seksual, panggilan tidak pantas, hingga gestur yang membuat korban merasa tidak nyaman. Meski kerap dianggap sebagai candaan atau pujian, catcalling memiliki dampak serius terhadap rasa aman, kesehatan mental, dan kebebasan individu dalam beraktivitas di ruang publik.
Prevalensi Catcalling Berdasarkan Data
Berbagai hasil penelitian dan laporan lembaga menunjukkan bahwa catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual yang paling dominan di ruang publik. Survei nasional dan internasional mencatat bahwa lebih dari 60% kasus pelecehan seksual di ruang publik berbentuk verbal, termasuk catcalling. Studi lain juga menunjukkan bahwa sekitar 6 dari 10 perempuan pernah mengalami komentar atau panggilan seksual yang tidak diinginkan di tempat umum, seperti jalan raya, transportasi umum, dan lingkungan pendidikan.
Di Indonesia, laporan tahunan Komnas Perempuan tahun 2024 mencatat lebih dari 24.000 kasus kekerasan seksual, dengan pelecehan seksual nonfisik sebagai salah satu kategori yang paling banyak dilaporkan. Meskipun tidak semua kasus catcalling tercatat secara formal, laporan di media sosial dan survei akademik menunjukkan bahwa praktik ini terjadi secara luas dan berulang, terutama di ruang publik yang minim pengawasan.
Catcalling dan Normalisasi Budaya
Salah satu faktor yang membuat catcalling terus berlangsung adalah normalisasi sosial. Dalam banyak konteks, perilaku ini dianggap wajar dan tidak berbahaya, bahkan sering kali dibenarkan dengan alasan ekspresi spontan atau pujian terhadap penampilan. Padahal, catcalling dilakukan tanpa persetujuan dan menempatkan korban sebagai objek, sehingga melanggar batas personal dan martabat individu.
Penelitian sosial menunjukkan bahwa normalisasi ini membuat banyak korban memilih untuk diam, karena khawatir dianggap berlebihan atau disalahkan. Akibatnya, angka pelaporan menjadi rendah dan pelaku merasa tidak ada konsekuensi atas perbuatannya.
Dampak Psikologis dan Sosial
Dampak catcalling tidak berhenti pada momen kejadian. Berbagai studi psikologi menunjukkan bahwa korban sering mengalami rasa takut, cemas, marah, dan tidak aman setelah mengalami pelecehan verbal. Dalam jangka panjang, catcalling dapat memengaruhi kepercayaan diri dan membentuk perilaku menghindari ruang publik tertentu.
Banyak korban mengaku mengubah cara berpakaian, jam bepergian, atau rute perjalanan untuk menghindari potensi pelecehan. Kondisi ini secara tidak langsung membatasi kebebasan individu dalam menggunakan ruang publik secara setara dan aman.
Perspektif Hukum di Indonesia
Secara hukum, catcalling termasuk dalam pelecehan seksual nonfisik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini menegaskan bahwa tindakan bernuansa seksual yang dilakukan tanpa persetujuan dan menyebabkan ketidaknyamanan atau kerugian psikologis dapat dikenai sanksi pidana.
Namun, implementasi UU TPKS dalam kasus catcalling masih menghadapi tantangan. Minimnya pemahaman masyarakat, kesulitan pembuktian, serta anggapan bahwa catcalling bukan pelanggaran serius menjadi kendala utama dalam proses penegakan hukum.
Upaya Mengatasi Catcalling di Ruang Publik
Penanganan catcalling memerlukan pendekatan menyeluruh dan berkelanjutan, tidak hanya melalui hukum, tetapi juga perubahan sosial dan budaya. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:
1. Edukasi dan Literasi Publik
Pendidikan mengenai pelecehan seksual perlu diperkuat melalui sekolah, kampus, tempat kerja, dan media massa. Edukasi ini harus menekankan bahwa catcalling bukan pujian, melainkan bentuk pelecehan yang melanggar hak individu.
2. Peran Media Massa
Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Pemberitaan yang edukatif, berperspektif korban, dan tidak menormalisasi pelecehan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus mendorong perubahan sikap sosial.
3. Penegakan Hukum yang Konsisten
Aparat penegak hukum perlu dibekali pemahaman yang memadai mengenai pelecehan seksual nonfisik agar laporan catcalling dapat ditangani secara serius dan profesional sesuai dengan UU TPKS.
4. Dukungan terhadap Korban
Penyediaan layanan konseling, pendampingan hukum, serta mekanisme pelaporan yang aman dan mudah diakses menjadi faktor penting agar korban berani melapor dan mendapatkan keadilan.
Kesimpulan
Catcalling bukan sekadar gurauan, melainkan bentuk pelecehan seksual verbal yang dialami oleh 3 dari 5 perempuan di Indonesia. Data membuktikan bahwa tindakan ini tidak memandang waktu maupun pakaian korban. Untuk mengatasinya, gunakan metode 5D (Dialihkan, Delegasikan, Dokumentasikan, Ditegur, Ditenangkan).
Segera laporkan jika Anda merasa terancam.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”








































































