Dalam situasi darurat nasional seperti pandemi Covid-19, dokter dan tenaga kesehatan lainnya berdiri di garis terdepan. Mereka bukan hanya menjadi tumpuan harapan publik, tetapi juga menjadi ujung tombak eksekusi kebijakan kedaruratan di tingkat provinsi seperti Provinsi Sumatera Utara. Dalam kondisi yang serba tidak pasti dan penuh tekanan, mereka sering kali harus mengambil keputusan cepat dengan informasi yang terbatas, di mana setiap detik berarti bagi keselamatan jiwa.
Konteks inilah yang melatarbelakangi tindakan-tindakan medis dan operasional yang diambil oleh dr. Aris Yudhariansyah pada masa krisis. Keputusan-keputusan yang lahir dari semangat menyelamatkan nyawa dan mengatasi situasi luar biasa, kini justru menghadapi uji materi di meja hijau. Persoalan hukum yang mengemuka terhadap sejumlah keputusan tersebut mengabaikan satu elemen krusial: konteks darurat yang memaksa tindakan itu dilakukan.
Dalam keadaan normal, standar prosedur dan regulasi memang harus ditegakkan. Namun, menilai tindakan di masa krisis dengan kacamata hukum yang berlaku di masa normal adalah sebuah ketidakadilan. Kriminalisasi terhadap dr. Aris yang bertindak demi keselamatan publik justru akan menciptakan efek jera yang berbahaya. Di masa depan, situasi serupa dapat membuat tenaga kesehatan ragu-ragu, takut untuk mengambil inisiatif cepat, dan akhirnya mengorbankan nyawa yang seharusnya bisa diselamatkan.

Oleh karena itu, negara hadir tidak hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk memberikan keadilan dan kepastian. Pemberian amnesti bagi dr. Aris Yudhariansyah yang keputusannya dipersoalkan dalam konteks penanganan pandemi bukanlah bentuk pembiaran terhadap kesalahan, melainkan pengakuan negara atas kondisi luar biasa yang beliau hadapi. Amnesty adalah instrumen hukum yang tepat untuk melindungi para pahlawan yang telah berjuang di tengah kegelapan, memastikan bahwa dedikasi mereka tidak berakhir di balik jeruji.
Prinsipnya jelas: tindakan yang diambil dalam situasi darurat nasional demi keselamatan publik tidak boleh dikriminalisasi di masa depan. Negara harus belajar dari krisis ini. Diperlukan payung hukum yang jelas, mungkin dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau revisi undang-undang, yang secara khusus melindungi tenaga kesehatan dan pejabat yang membuat keputusan sulit dalam keadaan force majeure.
Memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi garda terdepan bukan sekadar masalah hukum—ini adalah masalah keberlanjutan sistem ketahanan kesehatan nasional. Jika kita menghargai pengorbanan dan jerih payah mereka di masa krisis, maka kita harus memastikan bahwa rasa terima kasih itu diwujudkan dalam bentuk perlindungan hukum yang nyata, bukan justru membiarkan mereka menghadapi ketidakpastian setelah badai berlalu.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































