Di Balik Tragedi SMAN 72: Luka yang Tak Terlihat Namun Sangat Nyata
Tragedi ledakan di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jum’at (07/11/2025) benar-benar mengejutkan banyak pihak dan menyisakan pertanyaan besar tentang keamanan lingkungan sekolah. Ledakan yang terjadi di ruang masjid sekolah memperlihatkan bahwa ancaman bisa muncul bahkan di tempat yang kita anggap paling aman. Bagi saya, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa sistem pengawasan dan pendampingan terhadap siswa perlu dievaluasi ulang. Kita tidak boleh lagi menganggap masalah keselamatan sekolah sebagai hal rutin yang bisa ditunda.
Ketika muncul informasi bahwa pelaku diduga merasa terisolasi dan mengalami bullying, saya langsung teringat betapa sering isu ini dianggap sepele. Remaja yang tampak baik-baik saja bisa menyimpan perasaan tertekan yang tidak pernah terlihat. Menurut saya, situasi ini menunjukkan betapa pentingnya kesadaran para guru dalam membaca sinyal-sinyal kecil dari siswa. Satu percakapan yang diabaikan bisa berujung pada masalah besar.
Dugaan bullying yang berulang memperlihatkan bahwa budaya saling menghargai di sekolah belum benar-benar terbentuk. Banyak siswa masih takut melapor karena khawatir dianggap lemah atau tidak ingin memperburuk keadaan. Saya percaya, jika lingkungan sekolah lebih terbuka dan suportif, siswa tidak akan merasa sendirian menghadapi tekanan. Ini adalah tanggung jawab moral semua pihak di lingkungan pendidikan.
Dampak psikologis pasca ledakan pun sangat terasa di kalangan siswa. Banyak dari mereka masih mengalami trauma karena menyaksikan langsung peristiwa mengerikan tersebut. Menurut saya, dukungan psikologis harus diberikan dengan serius dan tidak boleh sekadar formalitas. Tanpa pendampingan yang memadai, trauma seperti ini bisa meninggalkan bekas yang panjang. Saya juga mencemaskan adanya dugaan paparan ideologi ekstrem terhadap pelaku. Remaja yang sedang mencari jati diri sangat mudah dipengaruhi oleh narasi yang sederhana namun menyesatkan. Menurut saya, sekolah perlu mengajarkan literasi kritis, terutama dalam memilah informasi dan menangkal paham-paham yang membahayakan. Jika tidak, ruang kosong dalam diri remaja bisa diisi oleh ideologi yang keliru.
Langkah pemerintah memperkuat peran guru bimbingan konseling tentu menjadi kabar baik, tetapi menurut saya masih harus diikuti tindakan yang lebih menyeluruh. Guru BK tidak bisa bekerja sendirian tanpa dukungan budaya sekolah yang terbuka dan empatik. Orang tua pun harus lebih terlibat dalam memantau kondisi emosional anak. Kolaborasi semacam ini penting untuk mencegah masalah yang lebih besar. Saya juga merasa bahwa pendidikan karakter harus lebih dihidupkan kembali, bukan hanya sebagai teori dalam kurikulum. Remaja perlu ruang untuk membangun kepekaan sosial, belajar mengelola emosi, dan memahami dampak perbuatan mereka terhadap orang lain. Menurut saya, kemampuan ini sama pentingnya dengan kemampuan akademik. Tanpa karakter yang kuat, pengetahuan saja tidak cukup menjaga mereka dari keputusan yang salah.
Akhirnya, tragedi ini menjadi pengingat keras bahwa sekolah harus kembali menjadi tempat yang aman dan nyaman. Kita semua guru, orang tua, masyarakat punya peran besar dalam memastikan hal itu. Menurut saya, mencegah tragedi jauh lebih penting daripada sekadar menanggapinya saat sudah terjadi. Semoga SMAN 72 menjadi pelajaran besar agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































