Pernahkah kamu memperhatikan tulisan kecil di label makanan: “mengandung perisa alami” atau “mengandung perisa buatan” ? Banyak orang langsung mengira bahwa yang alami pasti lebih sehat. Tapi apakah benar demikian? Mari kita bongkar mitos dan fakta di balik dunia flavor ilmu yang membuat makanan terasa lebih nikmat.
Apa Itu Flavor?
“Flavor” sebenarnya bukan sekedar rasa di lidah. Flavor adalah rasa (manis, asin, asam, pahit, umami) dan aroma yang tercium saat kita makan. Senyawa-senyawa ini bisa berasal dari alam atau dibuat secara sintetis di laboratorium.
Menurut penelitian Kusnadi, (2018) Flavor buatan dan alami pada dasarnya memiliki struktur kimia yang sama, hanya berbeda dari mana asalnya. Misalnya, mokeul vanillin yang memberikan aroma vanilla bisa diekstrak dari biji vanili (alami) atau disintetis dari kayu atau minyak bumi (buatan). Namun, bagi tubuh manusia, molekul vanillin tetaplah sama.
Apakah Flavor Alami Selalu Lebih Sehat?
Tidak selalu. Kata “Alami” disini hanya berarti bahan awalnya berasar dari tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme. Namun, proses pembuatannya sering melibatkan pelarut kimia, pemanasan tinggi. Jadi, “alami” bukan berarti bebas dari bahan kimia.
Penelitian menunjukkan bahwa baik flavor alami maupun buatan bisa sama-sama aman jika digunakan dalam batas yang diatur oleh Lembaga pengawasan seperti BPOM atau FDA Riyadi et al., (2025). Yang paling penting itu bukan sumbernya, tapi dosis dan uji keamanannya.
Bagaimana dengan Flavor Buatan?
Banyak orang khawatir flavor buatan berbahaya karena dibuat di laboratorium. Padahal, flavor sintetis justru sering lebih stabil dan terkontrol kualitasnya disbanding flavor alami. Misalnya, stroberi buatan dibuat dari beberapa senyawa utama yang meniru aroma buah asli, tanpa zat lain yang bisa menyebabkan alergi atau perubahan rasa.
Beberapa peneliti bahkan menyebut bahwa flaavor buatan cenderung lebih konsisten dan aman karena tidak mengandung kontaminan dari bahan mentah alami (Ayustaningwarno et al., 2021).
Jadi, Mana yang Lebih Aman?
Jawabannya: Keduanya aman, selama digunakan sesuai regulasi. Flavor alami mungkin terdengar lebih “ramah”, tapi tidak otomatis lebih sehat. Sementara flavor buatan mungkin terdengar “kimiawi”, tapi justru lebih murni dan stabil.
Yang perlu diwaspadai bukanlah label “alami” atau “buatan”, melainkan jumlah konsumsi makanan olahan. Terlalu banyak makanan ber-flavor, baik alami maupun buatan, bisa membuat lidah terbiasa dengan rasa kuat dan menurunkan apresiasi terhadap rasa alami dari bahan segar.
Dalam dunia rasa, yang alami belum tentu lebih sehat, dan yang buatan belum tentu berbahaya. Ilmu pangan memastikan semua flvor asal digunakan sesuai aturan aman untuk dikonsumsi. Jadi, tidak perlu takut pada istilah “perisa buatan”. Yang penting, tetaplah bijak dalam memilih makanan.
Referensi:
Ayustaningwarno, F., Rustanti, N., Afifah, D. N., dan Anjani, G. 2021. Teori dan Aplikasi Teknologi Pangan. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. 1- 128 hal
Kusnadi, J. 2018. Pengawet Alami untuk Makanan. Universitas Brawijaya Press. 1-198 hal.
Riyadi, F. M., Landu, A., Yanuarti, R., Sumiana, I. K., Nanulaitta, N. J., Merdekawati, D., dan Narapuspa, A. 2025. Keamanan Pangan dan Teknologi Pengawetan Ikan. Kamiya Jaya Aquatic. 1-317 hal.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































