Masalah yang Nyaris Tak Pernah Dibahas
Dalam setiap pembahasan mengenai kualitas pendidikan di Indonesia, kita sering disuguhi wacana tentang kurikulum, fasilitas sekolah, atau sistem ujian nasional. Namun, jarang sekali perhatian serius diarahkan pada satu aspek fundamental yang justru menjadi akar dari berbagai persoalan pendidikan kita: gaji guru. Padahal, di balik angka indeks pembangunan manusia yang stagnan dan hasil PISA yang memprihatinkan, terdapat satu lingkaran setan yang terus berputar—gaji guru yang rendah melahirkan guru yang tidak profesional, dan guru yang tidak profesional melahirkan generasi yang rapuh secara intelektual.
Gaji guru di Indonesia masih jauh dari kata layak, terutama bagi guru honorer dan mereka yang berada di sekolah swasta kecil atau di daerah terpencil. Banyak dari mereka digaji di bawah upah minimum, bahkan ada yang hanya mendapatkan seratus ribu rupiah per bulan.[1] Ironisnya, kepada merekalah kita titipkan masa depan bangsa ini.[2] Bagaimana mungkin seorang guru dapat mengajar dengan maksimal jika kebutuhan dasarnya saja tidak terpenuhi? Alih-alih fokus mendidik, banyak guru terpaksa mengambil pekerjaan sampingan untuk sekadar bertahan hidup.
Lingkaran Setan Gaji Rendah dan Guru Tak Profesional
Masalah ini kemudian berdampak langsung pada profesionalisme. Profesi guru yang seharusnya menjadi panggilan jiwa dan ladang pengabdian, justru terjebak menjadi sekadar ”pekerjaan pengisi waktu”. Tidak sedikit individu yang menjadi guru bukan karena panggilan, tetapi karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Ketika motivasi menjadi guru tidak dibarengi dengan penghargaan finansial yang memadai, maka jangan heran jika output pendidikan kita compang-camping. Lingkaran setan pun terbentuk: gaji rendah → guru tidak profesional → murid tidak berkualitas → pendidikan stagnan → bangsa tertinggal. Dan selama akar masalah ini dibiarkan, kita hanya akan terus berkutat di permukaan masalah pendidikan, tanpa menyentuh intinya.
Kondisi ini menciptakan rantai masalah yang lebih kompleks. Gaji rendah membuat profesi guru kurang diminati oleh lulusan terbaik. Bahkan, ketika seorang guru sudah memiliki idealisme yang tinggi, tekanan ekonomi perlahan-lahan mengikis semangat tersebut.[3] Hasilnya, kita melihat fenomena guru yang hanya mengajar sebatas menggugurkan kewajiban, tanpa kreativitas, tanpa semangat, dan tanpa kemampuan pedagogis yang memadai.[4] Padahal, di sinilah letak kualitas pendidikan sesungguhnya: pada kualitas pendidik.
Upaya yang Belum Menyentuh Akar
Pemerintah memang telah mengupayakan tunjangan sertifikasi dan program peningkatan kompetensi, tetapi semua itu tidak akan menyelesaikan masalah selama gaji pokok guru masih berada di titik nadir.[5] Mengharapkan guru menjadi agen perubahan sementara kesejahteraannya tidak diperhatikan adalah sikap naif. Bahkan jika kita bicara soal revolusi pendidikan sekalipun, semua rencana akan mentah jika gurunya lelah dan tidak dihargai secara ekonomi.
Lebih jauh lagi, rendahnya gaji guru berpengaruh terhadap relasi sosial antara guru dan murid. Guru yang frustrasi secara ekonomi bisa kehilangan kesabaran dalam mendidik, enggan menjalin komunikasi positif dengan siswa, atau bahkan menunjukkan sikap masa bodoh.[6] Pendidikan yang seharusnya penuh keteladanan justru berubah menjadi aktivitas mekanis tanpa makna.
Solusi: Berani Menjadikan Guru sebagai Prioritas
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat memandang gaji guru bukan sebagai beban anggaran, melainkan sebagai investasi jangka panjang. Negara-negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia selalu menempatkan guru sebagai profesi bergengsi dan menjamin kesejahteraan mereka. Finlandia misalnya, memilih guru dari lulusan terbaik dan menggaji mereka secara layak—dan lihatlah hasilnya, kualitas pendidikan mereka menjadi rujukan dunia. Berikut beberapa contoh langkah realistis yang bisa diambil pemerintah Indonesia:
- Naikkan gaji pokok guru secara merata, tidak hanya mengandalkan tunjangan bersyarat.
- Tingkatkan seleksi dan pelatihan, tetapi seiring dengan jaminan kesejahteraan.
- Bangun kembali citra guru sebagai profesi mulia dan bergengsi, bukan pekerjaan cadangan.
- Alihkan sebagian besar anggaran pendidikan ke peningkatan kualitas SDM guru, bukan hanya proyek fisik.
Apakah Indonesia tidak mampu? Tentu mampu, jika memang ada kemauan politik dan keberpihakan anggaran yang serius. Yang dibutuhkan hanyalah prioritas. Sebab, membangun gedung sekolah megah atau memperbanyak program pelatihan tidak akan berarti jika manusianya—para gurunya—tidak dimuliakan.
Lingkaran setan ini hanya bisa diputus jika kita berani mengakui bahwa gaji guru adalah akar dari sebagian besar persoalan pendidikan kita. Dengan menjamin kesejahteraan guru, kita membuka pintu bagi hadirnya pendidik-pendidik yang profesional, berintegritas, dan berdedikasi tinggi. Dan hanya dengan guru yang sebaik itu, kita bisa berharap pada masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah.
Catatan Kaki:
[1] Anwar Dhobith, “ANALISIS KEBIJAKAN GAJI GURU HONORER TERHADAP KESEJAHTERAAN HIDUP GURU HONORER DI INDONESIA,” PARAMUROBI: JURNAL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 7, no. 1 (1 Juni 2024): 44–62, https://doi.org/10.32699/paramurobi.v7i1.6609.
[2] Firman Mansir, “KESEJAHTERAAN DAN KUALITAS GURU SEBAGAI UJUNG TOMBAK PENDIDIKAN NASIONAL ERA DIGITAL,” Jurnal IKA PGSD (Ikatan Alumni PGSD) UNARS 8, no. 2 (31 Desember 2020): 293, https://doi.org/10.36841/pgsdunars.v8i2.829.
[4] Maliki Alfajr Davin Chandra Saputra, Shevylia Cahya Ayu Saputri, dan Dhean Bimantara, “Hak Gaji Guru Honorer Berdasarkan Aspek Keadilan dan HAM,” AL-MIKRAJ Jurnal Studi Islam dan Humaniora (E-ISSN 2745-4584) 4, no. 1 (10 November 2023): 796–805, https://doi.org/10.37680/almikraj.v4i1.4140.