Ketika 15 musisi Indonesia membawa seperangkat gamelan lengkap ke Gedung Fiji Arts Council di Suva pada September lalu, mereka tidak cuma bawa alat musik. Mereka membawa senjata diplomasi paling ampuh yang dimiliki Indonesia: budaya.
Program residensi seniman bertajuk “Harmony for The Pacific” yang berlangsung 19-28 September 2024 ini melibatkan 25 seniman dari delapan negara Pasifik, yaitu Indonesia, Fiji, Kaledonia Baru, Nauru, Vanuatu, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Tuvalu. Tapi di balik kegiatan seni yang terlihat biasa-biasa saja ini, ada strategi geopolitik yang jauh lebih besar.
Kawasan Pasifik sedang jadi ajang perebutan pengaruh antara kekuatan besar dunia. China dengan diplomasi cek kosong-nya, Australia dengan program bantuan besar-besaran, dan Amerika Serikat yang mulai sadar kalau mereka ketinggalan. Negara-negara kepulauan kecil ini tiba-tiba jadi primadona.
China tercatat sebagai donor ketiga terbesar di kawasan Pasifik setelah Australia dan Amerika Serikat. Mereka mendirikan Institut Konfusius, mengirim ribuan sukarelawan pengajar bahasa Mandarin, bahkan membangun infrastruktur dari pelabuhan sampai universitas. Kepulauan Solomon bahkan menandatangani perjanjian keamanan dengan Beijing tahun 2022, membuat Australia dan sekutunya deg-degan.
Lalu Indonesia? Kita punya cara berbeda.
“Budaya membuka pintu banyak hal yang bisa dikerjakan bersama-sama. Ini adalah suatu pengalaman yang belum pernah dilaksanakan Indonesia di Pasifik,” kata Dubes RI untuk Fiji, Nauru, Kiribati, dan Tuvalu, Dupito Simamora.
Program residensi ini dimulai dari Nusa Tenggara Timur pada 9-17 September, lalu berlanjut ke Suva. Para seniman tidak cuma tampil, tapi benar-benar tinggal bersama, latihan bareng, bahkan menciptakan karya kolaboratif. Penari dari Fiji belajar gerakan tari Jawa, sementara musisi Indonesia belajar lagu tradisional Polinesia.
Direktur Diplomasi Publik Kemlu, Ani Nigeriawati, menjelaskan alasannya sederhana tapi jitu: “Ada kesempatan antara para seniman untuk saling mengenal satu sama lain. Kita dorong adanya pembelajaran bersama melalui kebudayaan, karena pada dasarnya di antara negara-negara Pasifik termasuk Indonesia ada kesamaan bahasa, tradisi, dan budaya.”
Dan itu yang jadi kunci. Indonesia dan negara-negara Pasifik punya DNA budaya yang mirip—sama-sama bangsa maritim, sama-sama punya tradisi komunal yang kuat, sama-sama menghargai musik dan tarian dalam kehidupan sehari-hari. Bukan cuma soal uang atau infrastruktur. Ini soal kesamaan rasa, kesamaan akar.
Mengapa Seni Jadi Senjata Diplomasi?
Ada beberapa alasan kenapa pendekatan budaya Indonesia justru lebih efektif:
Pertama, biaya jauh lebih murah.
China memang bisa kasih hutang miliaran dolar, tapi Indonesia cukup kirim 25 seniman selama dua minggu. Efek jangka panjangnya? Bisa sama kuatnya, bahkan lebih tahan lama.
Kedua, tidak ada stigma neokolonialisme.
Bantuan finansial besar sering dicurigai punya agenda tersembunyi. Tapi seni? Murni people-to-people connection. Tidak ada yang merasa dijajah ketika gamelan dimainkan bareng drum Fiji.
Ketiga, menciptakan ikatan emosional.
Orang mungkin lupa berapa besar bantuan yang diterima negaranya, tapi mereka akan ingat pengalaman menciptakan musik bersama seniman dari negara lain. Ikatan emosional ini yang jadi fondasi diplomasi jangka panjang.
Keempat, menjangkau lapisan masyarakat lebih luas.
Diplomasi formal cuma sampai ke pejabat dan elite. Tapi ketika ada pertunjukan seni di lapangan terbuka, dari anak kecil sampai nenek-nenek bisa nonton. Soft power yang menyebar ke grassroot.
Yang bikin program ini beda dari festival seni biasa adalah fokusnya pada kolaborasi, bukan sekadar penampilan. Para seniman dari berbagai negara diajak berdiskusi, berbagi teknik, dan menciptakan karya baru bersama.
Direktur Fiji Arts Council, Maciusala Raiva, menyambut program ini dengan antusias. Untuk negara-negara Pasifik yang jarang dapat perhatian dari dunia luar, kehadiran Indonesia lewat jalur budaya ini terasa lebih tulus.
Program ini didukung penuh oleh Kementerian Luar Negeri dan Kemendikbudristek. Ini bukan program dadakan, tapi bagian dari strategi besar Indonesia di kawasan Pasifik yang selama ini memang agak terabaikan dalam peta diplomasi kita.
Pelajaran untuk Diplomasi Indonesia
Kesuksesan program ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak perlu bersaing secara head-to-head dengan China atau Australia dalam hal bantuan finansial. Kita punya modal lain yang sama kuatnya: kekayaan budaya yang beragam, pengalaman sebagai bangsa kepulauan, dan kemampuan berkomunikasi secara emosional dengan masyarakat Pasifik.
Ini juga mengingatkan bahwa diplomasi tidak melulu soal pertemuan pejabat tinggi atau penandatanganan MoU di istana. Kadang, diplomasi paling efektif justru terjadi di studio latihan yang sempit, di antara bunyi gamelan dan tawa para seniman yang baru saja mengenal satu sama lama.
Sementara kekuatan besar dunia sibuk berlomba membangun pelabuhan dan jalan raya di Pasifik, Indonesia diam-diam membangun jembatan yang jauh lebih kuat: jembatan hati dan budaya.
Dan ketika suatu hari nanti negara-negara Pasifik harus memilih berpihak ke mana, mereka mungkin akan ingat: siapa yang pernah datang bukan dengan cek, tapi dengan gamelan dan senyuman tulus.
Program residensi seniman ini digelar oleh KBRI Suva bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri RI dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kegiatan serupa direncanakan akan terus berlanjut sebagai bagian dari strategi diplomasi Indonesia di kawasan Pasifik.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































